DODOKUGMIM.COM, MINUT – Terlahir di keluarga sangat sederhana memang bukan pilihan bagi dr. Merki Rundengan, MKM. Mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas (SMA), dibiayai oleh orangtua sudah sangat ia syukuri. “Hidup di masa itu memang sangat berat. Semua serba terbatas. Hanya semangat yang berlimpah,” kenangnya, saat dijumpai, Senin (5/8/2019).
Ia bercerita, orangtuanya sehari-hari bertani. Hasil pertanian yang pasang surut itu, dipakai untuk mengongkosi semua kebutuhan. Mulai dari kebutuhan hidup setiap hari hingga biaya sekolah bagi Rundengan dan saudaranya. “Meski sulit cari uang, orangtua saya mau anak-anaknya bisa menempuh pendidikan dan berhasil,” tutur putra pasangan Wolter Rundengan dan Lis Watung.
Cita-cita pertama yang terlintas dibenaknya adalah pendeta. “Sebenarnya saya ingin jadi pendeta. Tapi ketika SMP, papa mengalami sakit. Sejak itu saya ingin menjadi dokter yang bisa menolong papa saya dan orang-orang susah yang mengalami sakit,” kata Rundengan, yang juga melayani sebagai Syamas Kolom Delapan GMIM Immanuel Kaima.
Keinginan menjadi dokter sempat ia urungkan. Dukungan ekonomi, lagi-lagi menjadi alasan. “Papa sudah meninggal, mama berjualan Sayur Kangkung. Bagaimana mungkin bisa membiayai kuliah kedokteran yang sangat mahal?” ucap bungsu dari tiga bersaudara ini.
Mencari pekerjaan adalah pilihan terpikir olehnya. “Saya berdoa. Kalau memang Tuhan izinkan, saya pasti akan jadi dokter suatu hari nanti. Saya tidak boleh menyerah,” tambahnya.
Mujizat Tuhan terjadi, lanjut dia, seperti mimpi ketika ia diberitahu boleh melanjutkan studi kedokteran. “Pada hari terakhir penerimaan mahasiswa, om saya menelpon dan mengatakan kesediaannya untuk membiayai kuliah kedokteran saya. Puji Tuhan!” serunya.
Tapi kendala tak berhenti di sini. “Semester empat, om saya tidak lagi bisa membayar biaya kuliah. Saya kaget dan bingung, sempat terpikir berhenti kuliah. Saya pasrah, tapi tidak menyerah,” tambahnya.
Lagi-lagi, Tuhan buka jalan. Ia mendapatkan modal usaha dari teman-temannya dalam pelayanan kerohanian di kampus. “Saya aktif dalam pelayanan kerohanian di kampus dan di jemaat Bahu. Dari kelompok doa ini, saya diberi modal untuk usaha,” tuturnya.
Dengan modal itu, Rundengan mulai berjualan alat-alat medis di kampusnya. Keuntungan yang ia dapat, lumayan. Rundengan mampu membayar ongkos kuliah, juga memberi modal bagi sang ibu untuk membuka warung. “Saya giat belajar dan beruntung mendapat beasiswa,” jelasnya.
Waktu terus berjalan. Rundengan berhasil menyelesaikan studi dan dilantik sebagai dokter. Ia beruntung, lolos dalam seleksi menjadi aparatur sipil negara, dan ditempatkan di Tual, Maluku Utara. “Waktu itu kerusuhan sedang berlangsung dan saya harus melayani di desa-desa muslim. Tugas ini tidak saya tolak. Saya harus hadir sebagai jembatan perdamaian. Modal saya hanya keinginan untuk melayani dengan memberi yang terbaik,” kata lelaki kelahiran 26 Maret 1971.
Beruntung, ia disambut baik oleh warga. Rundengan sempat menjadi kepala puskesmas. “Waktu itu saya mengiatkan gerakan anti korupsi. Ini soal komitmen dan konsisten,” tambahnya.
Dari Maluku Utara, seakan dewi fortuna memihak padanya. Tahun 2007, Rundengan lulus dalam penjaringan Tim Auditor Inspektorat Kementrian Kesehatan RI yang diseleksi dari sekitar 300 dokter, hingga menyisahkan 15 orang. Ia kemudian menjalankan baktinya sebagai auditor selama tujuh tahun.
Kini dokter yang punya hobi “berpetualang” ini, membaktikan diri di RSUP Ratatotok Buyat, Minahasa Tenggara. “Tawaran dari RS. Ratatotok ini sempat saya tolak di tahun 2014, tapi kemudian saya terima juga. Saya imani ini jalan Tuhan untuk membawa saya menolong orang,” tegas Rundengan yang gemar bepergian ke tempat-tempat ekstrim.
Ditanya hal yang paling disyukurinya sekarang ini? “Saya masih boleh melihat mama di hari tua, berkumpul dengan keluarga dan melayani,” tandas Rundengan yang berhasil membawa RSUP Ratatotok menjadi rumah sakit terbaik dibidang akreditasi pelayanan dari rumah sakit di Provinsi Sulawesi Utara.(dodokugmim/nickysangian)