Ada sebuah lagu popular yang berjudul “Tinggi Gunung Seribu Janji”. Lagu yang nadanya enak didengar ini diciptakan oleh Ismail Marzuki. Lagu ini kemudian menjadi sangat terkenal dan pernah dinyanyikan oleh beberapa penyanyi, di antaranya penyanyi pop Hetty Koes Endang dan Bob Tutupoli, serta penyanyi keroncong Tuti Maryati. Sebagian syairnya berbunyi memang lidah tak bertulang, tak berbekas kata-kata, tinggi gunung seribu janji lain di bibir lain di hati. Beberapa penggalan kata dalam syair tersebut menjadi ungkapan yang terkenal yakni Memang lidah tak bertulang, lain di bibir lain di hati. Ungkapan ini menjadi terkenal karena makna yang terkandung didalamnya sering kita alami dan lakukan. Kita sering tidak atau kurang bertanggung jawab terhadap apa yang kita ucapkan dan tidak berpikir panjang tentang dampak perkataan kita. Seringkali perpecahan hubungan antar manusia terjadi karena perkataan. Padahal, lidah ini jika digunakan dengan tepat dan benar dapat memberkati dan menuntun orang percaya kepada hidup melakukan kehendak Allah.
Amos adalah seorang hamba Allah; seorang yang hidupnya diabdikan untuk melayani Tuhan dan yang gaya hidupnya mencerminkan pengabdian meskipun ia hanyalah seorang awam. Profesinya adalah peternak domba dan pemetik buah ara. Amos bukanlah anak seorang nabi; dia bukan anak seorang imam, tetapi Allah memberi Amos suatu penglihatan mengenai masa depan dan menyuruhnya memberitakan pesan Allah kepada umat Israel. Tanpa takut, Amos terus menceritakan penglihatan-penglihatan tentang hukuman yang akan terjadi di masa depan yang ditunjukkan Allah kepadanya. Amos berbicara dengan tegas tentang dosa. Dia berani menentang pemimpin-pemimpin agama palsu pada zaman itu dan tidak terintimidasi oleh imam atau raja-raja. Dia terus menyampaikan pesannya dengan berani.
Amos menyampaikan pemberitaannya di tengah situasi Israel sedang menikmati kedamaian dan kemakmuran ekonomi. Tetapi berkat Tuhan ini menyebabkan masyarakatnya menjadi egoistis dan materialistis. Orang-orang kaya tidak peduli terhadap kebutuhan orang-orang yang kurang beruntung. Orang kaya dan berkuasa di Samaria ibukota Israel menjadi makmur, bertindak serakah dan tidak adil. Perbudakan yang illegal dan amoral muncul akibat dari pajak yang berlebihan dan penyerobotan tanah. Bangsa itu menjadi egosentris dan tidak mengindahkan Allah. Amos berbicara menentang orang-orang yang mengekploitasi atau mengabaikan kaum miskin. Amos menyatakan bahwa Allah memang memilih bangsa Israel agar bangsa lain di dunia dapat mengenal Dia. Ini adalah janji Allah kepada Abraham, bapa umat Israel.
Umat Israel tidak perlu melakukan apa-apa untuk dipilih; Allah telah memberi mereka hak istimewa karena Ia menghendakinya, bukan karena mereka patut mendapat perlakuan istimewa. Namun demikian, kesombongan atas posisi istimewa mereka itu menghancurkan kepekaan mereka terhadap kehendak Allah sehingga mereka mendapat penghukuman Tuhan (ayat 1-2).
Amos menggunakan serangkaian pertanyaan retoris untuk mengumumkan penghakiman atas orang Israel yang tidak taat; kepada mereka yang gagal menaati prinsip-prinsip perjanjian. Melalui tujuh pertanyaann retoris, Amos menunjukkan bagaimana dua kejadian dapat dihubungkan bersama. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diambil dari kehidupan sehari-hari, baik dalam relasi antar manusia maupun dunia binatang. Amos memulai dari akibat, lalu ke sebab; Ayat 3—5 berisi deretan pertanyaan retoris. Jawaban yang diharapkan sudah jelas, yakni tidak. Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Seandainya dipertanyakan pun hanya untuk penekanan saja; “Berjalan dua orang Bersama-sama jika mereka belum berjanji”? Dua orang tidak dapat berjalan bersama tanpa terlebih dahulu membuat janji.
Demikian pula, TUHAN tidak akan berjalan bersama dengan umat Israel jika Ia tidak menjalin hubungan perjanjian dengan mereka. Selanjutnya Amos menggunakan perumpamaan seekor singa untuk mengajukan dua pertanyaan. Pertanyaan pertama berbunyi mengaumkah seekor singa di hutan, apabila tidak mendapat mangsa? Singa tidak akan mengaum kecuali mangsanya sudah terlihat dan siap melompat ke atasnya. Pertanyaan kedua berbunyi, bersuarakah singa muda dari sarangnya jika belum menangkap apa-apa? Singa muda tidak akan mengeram atau mengeluarkan suaranya kecuali dia telah mengangkap sesuatu. Demikian pula TUHAN tidak akan mengaum dari Sion jika Israel hidup sesuai ketetapan Allah. Jatuhkah seekor burung ke dalam perangkap di tanah, apabila tidak ada jerat terhadapnya? Membingkaskah perangkap dari tanah, jika tidak ditangkapnya sesuatu? Intisari dari tiga metafora ini sama, yakni kepastian.
Tuhan pasti akan menghukum bangsa Israel atas pelanggaran-pelanggaran mereka. Kepastian ini ada penyebabnya. Tuhan tidak mungkin menjatuhkan hukuman tanpa ada pelanggaran. Selanjutnya ayat 6 masih berupa pertanyaan retoris, hanya saja arahnya berbeda. Ayat 6 berbicara sebab ke akibat. Amos secara sengaja mengubah arah ini untuk menekankan kemurahan hati Allah. Hukuman tidak langsung dijatuhkan. Allah memberi peringatan dengan harapan agar bangsa Israel bisa hidup dalam pertobatan. Apa yang disampaikan Amos menjadi seruan bagi bangsa Israel untuk melakukan introspeksi diri dan merefleksikan peristiwa yang mereka alami berkaitan dengan panggilan dan keterpilihan mereka serta relasi dengan Allah. Sebagai seorang nabi yang diutus Allah untuk menyatakan kehendak-Nya, kehadiran Amos bertujuan untuk menyampaikan isi hati Allah yaitu keputusan Allah bagi umat yang tidak lagi hidup sesuai dengan kehendak-Nya (ayat 7-8).
Di sekitar kita ada banyak praktik ketidakadilan yang terjadi. Praktik ketidakadilan tersebut tidak hanya terjadi dalam keluarga kita, tetapi juga dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakat. Kita sering melihat atau merasakan sendiri saat ada pemberlakuan pilih kasih, tebang pilih, atau like and dislike dalam praktik hukum yang sering tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bahkan pun di sekitar kita masih marak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat; kita sering menyebutnya penyakit sosial seperti perjudian (termasuk judi online), pencurian, penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkotika), minuman keras, percabulan/pelacuran, minuman keras, tawuran, persekusi, dan sebagainya. Bahkan sungguh ironis melihat fakta bahwa ada pemimpin gereja yang tidak hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan lebih mementingkan diri sendiri; dan ada pemimpin Masyarakat (pejabat) yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Menjadi tantangan dan refleksi bagi kita saat ini, mampukah kita, beranikah kita menjadi penyambung lidah Allah seperti yang dilakukan oleh Amos? Terkadang kita takut untuk menyampaikan suara kenabian, karena risiko yang harus kita terima saat kita menyampaikan kebenaran itu. Kita mungkin akan dibenci; bahkan pekerjaan atau jabatan kita jadi taruhan. Akan tetapi, apakah itu membuat kita menyurutkan langkah untuk menyuarakan apa yang benar? Apakah budaya permisif (bahasa Melayu Manado: rasa bagitu) atau toleransi tinggi membuat kita enggan menyatakan kebenaran? Atau apakah karena kita merasa kita bukan siapa-siapa sehingga kita bersikap masa bodoh dan tidak mau menyatakan kebenaran itu? Ingatlah, Amos adalah orang biasa, tetapi ia berani menyatakan kehendak Tuhan; menyatakan kebenaran kepada umat Tuhan. Amos mampu menjadi penyambung lidah Allah untuk mengingatkan umat-Nya.
Siapa pun kita, apa pun latar belakang dan profesi kita, kita dapat menjadi penyambung lidah Allah untuk menyampaikan kehendak-Nya. Penyambung lidah Allah berarti menyatakan apa pesan yang Tuhan Allah kehendaki untuk kita sampaikan. Kita tidak bisa mengubah isi pesan atau menyampaikan sesuatu di luar kehendak Allah. Orang Manado bilang jangan ja fermak atau jangan ja baputar bale. Jadi sekali lagi, apa yang diperintahkan Tuhan, itu yang kita disampaikan. Mari kita memohon kepada Tuhan agar kepada kita diberikan lidah seorang murid untuk menjadi penyambung lidah Allah. Lidah adalah bagian tubuh yang kecil tapi memiliki dampak yang sangat besar. Bagian tubuh yang kecil ini bisa membunuh, meremukkan hati, menghancurkan reputasi, menciptakan pertikaian, serta membuat keluarga dan bangsa berperang. Namun demikian, lidah yang kecil ini pun dapat menjadi berkat untuk banyak orang melalui perkataan yang membangun, menegur dengan kasih, memberi semangat, mengungkapkan sukacita, menghalau kesedihan, mengenyahkan keputusasaan, dan menyebarluaskan keceriaan dan kebahagiaan.
Belajar dari Amos, marilah kita menjadi penyambung lidah Allah yang wajib menyampaikan kehendak Allah sehingga hidup kita semakin memuliakan Dia. Janganlah anugerah dan berkat yang Tuhan berikan kepada kita membuat kita lupa diri dan melakukan apa yang tidak benar di hadapan Tuhan, tetapi biarlah berkat dan anugerah Tuhan itu menjadikan kita Amos-Amos masa kini dan menjadi berkat sehingga keadilan Tuhan dinyatakan melalui hidup kita. Amin.