Saudara-saudara yang diberkati Tuhan Yesus…
Menjadi seorang hamba Tuhan memang tidak segampang yang kelihatan. Karena persoalan dalam jemaat itu beragam, ada yang menyangkut hubungan sehari – hari antar sesama juga ada yang menyangkut hubungan antara laki – laki dan perempuan dalam perkawinan. Seorang hamba Tuhan diharapkan mampu menjawab dengan bijak setiap pertanyaan yang diajukan. Karena itu sangat penting memperlengkapi diri dengan pengetahuan Alkitabiah dan aturan – aturan gereja. Bila pengetahuan tentang Firman dan ajaran serta aturan itu memadai, maka dengan hikmat yang dari Tuhan, jawaban yang diberikan, menjawab persoalan mereka.
Seperti Paulus yang menerima surat dari orang – orang Korintus berkaitan dengan sejumlah persoalan. Paulus dituntut untuk bijak menjawab, agar persoalan yang terjadi tidak semakin meruncing. Disinilah Paulus merespon pertanyaan – pertanyaan jemaat Korintus tentang perkawinan. Maklumlah, Korintus adalah pusat pertemuan banyak kebudayaan dan bereputasi sebagai kota yang “liar” dengan berbagai teater, pasar dan kuil. Korintus juga merupakan pusat penyembahan Asklepius, dewa penyembuhan dan pusat penyembahan terhadap dewi cinta, Afrodite. Berita buruk didengar oleh Paulus tentang kebejatan moral, perzinahan dan percabulan.
Paulus perlu meluruskan pandangan jemaat sekaligus menasehati mereka. Ungkapan Paulus di bagian awal “adalah baik bagi laki – laki kalau ia tidak kawin”, tidak berarti bahwa adalah baik kalau laki – laki tidak menikah atau tidak terikat hubungan pernikahan. Dalam Alkitab berbahasa Inggris KJV (King James Version) kalimat ini berbunyi “it is good a man not to touch a woman”. Kata “not to touch a woman” artinya tidak menyentuh perempuan. Berarti adalah baik kalau laki – laki tidak menyentuh perempuan yang tidak terikat hubungan pernikahan dengannya. Paulus melanjutkan “tetapi mengingat bahaya percabulan…..”. Agar laki – laki dan perempuan, tidak melakukan percabulan, terlibat hubungan yang tidak sah, sehingga “baiklah setiap laki – laki mempunyai istrinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (ayat 2b). Laki – laki dan perempuan yang ingin hidup bersama, harus diresmikan dalam sebuah perkawinan karena hubungan seksual harus dilakukan dalam kekudusan pernikahan. Karena memang didapati ada yang telah bertahun – tahun hidup bersama dalam hubungan yang belum resmi, masih “kumpul kebo atau baku piara”. Seks bebas sedang mengancam generasi kita, ada yang sulit keluar dari dosa seks, masih berstatus pacaran tetapi sudah melakukan hubungan yang layaknya suami istri, akibatnya hamil di luar nikah. Ini adalah wajah buruk generasi kita. Apa yang harus kita lakukan??membiarkan saja sama halnya dengan melegalkan dosa. Sangat dibutuhkan peran orang tua untuk mengingatkan bahaya percabulan, seks di luar pernikahan itu dosa. Membicarakan seks bagi sebagian orang dianggap tabu, padahal jika dibahasakan dengan santun dengan kalimat yang tepat maka pendidikan tentang seks sangat dibutuhkan anak – anak kita.
Bagi pasangan suami istri yang sudah terikat dalam hubungan perkawinan. Hendaklah memahami tanggung jawab masing – masing. Ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, tidak boleh diabaikan. Istri harus menghormati suami. Karena ada istri yang setelah menikah, mempunyai karir yang bagus, pergaulan yang luas, ekonomi yang mapan mulai tidak memperhitungkan kehadiran suaminya, sehingga suami merasa tidak lagi dianggap. Sebaliknya ada Suami yang merasa bahwa dirinya berperan penting dalam keluarga, semua yang dibutuhkan sudah tersedia, menganggap remeh istri yang dinikahinya dengan cinta, mulai berkata dan bertindak kasar sehingga istri merasa terluka lahir dan batin. Mencintai itu satu paket dengan menghormati dan menghargai. Jadi kalau kita mencintai dia, maka hormatilah dan hargailah. Kebutuhan lahiriah, batiniah harus dipenuhi. Paulus menegaskan “janganlah saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu……..sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama – sama supaya Iblis jangan menggoda kamu karena kamu tidak tahan bertarak”(ayat 5). Faktor jarak dan faktor kesibukan sering membuat kebutuhan seksual tidak terpenuhi. Akhirnya ada yang mencari di luar rumah, apalagi dengan godaan teman – teman lama di jejaring social, ada yang mulai tergoda dengan cinta lama yang menawarkan kepuasan yang tidak diperolehnya di dalam rumah, keutuhan rumah tangga yang dibangun bertahun – tahun terancam retak karena kehadiran orang ketiga. Bila godaan itu datang, bertekunlah dalam doa, lawan dengan segenap kekuatan, agar iblis tidak menggiring kita pada keinginan yang mencelakakan, jangan ikuti hawa nafsu yang menjerumuskan. Karena kalau kita kalah, maka keindahan dan kebahagiaan dalam pernikahan itu akan berubah jadi bencana.
Jika ada yang memilih untuk tidak menikah atau tidak menikah lagi setelah ditinggalkan oleh suami atau istrinya, maka pilihan harus dihormati. Tidak boleh dipersoalkan atau dipandang rendah. Setiap orang mempunyai pilihan masing – masing. Jika ia kuat membujang maka jalanilah itu dengan bijak. Jangan jadi seorang bujang yang terkesan “liar”, tidak dapat mengendalikan diri. Memilih tidak menikah, tidak salah. Jadilah seorang pribadi yang produktif, dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Bagikanlah cinta itu bagi orang tua, bahagiakanlah mereka di masa tua, juga bagi anak – anak yang kurang beruntung karena ditinggalkan oleh orang tua dan isilah dengan hal – hal yang bermanfaat. Supaya keadaan membujang yang dipilih itu benar – benar mendatangkan berkat. Tetapi seandainya tidak sanggup menahan keinginan maka hiduplah dalam perkawinan supaya tidak hangus karena hawa nafsu.
Tuhan menghendaki, perkawinan itu langgeng. “kepada orang – orang yang telah kawin…..Tuhan perintahkan, supaya seorang istri tidak boleh menceraikan suaminya…………..dan seorang suami, tidak boleh menceraikan istrinya”(ayat 10 – 11). Berarti, Tuhan tidak menghendaki perceraian. Ada banyak pasangan suami istri yang tidak mampu mempertahankan ikatan pernikahan, sampai maut memisahkan. Janji – janji sehidup semati yang diikrarkan di hari pernikahan, seakan dilupakan ketika badai persoalan datang. Begitu mudahnya suami istri mengambil keputusan untuk mengakhiri perkawinan yang awalnya mereka dasari dengan cinta itu. Perceraian tidak dikehendaki Tuhan, karena merusak tatanan kehidupan yang sudah diberkati di hadapan Tuhan. Perceraian merugikan banyak pihak, bukan hanya suami dan istri tetapi juga ada hati anak – anak yang terluka. Karena itu ketika kita sudah berpikir untuk berpisah, mengakhiri hubungan pernikahan, pikirkanlah dan renungkanlah kembali, dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang. Ada hati yang harus dijaga, hati pasangan hidup yang diberikan oleh Tuhan, hati buah cinta yaitu anak – anak yang membutuhkan kasih sayang yang utuh dari mama dan papa.
Suami atau Istri yang beriman diharapkan menjadi pembawa damai sejahtera dalam keluarga. Jika suaminya atau istrinya tidak atau belum beriman, jangan diceraikan. Bawalah dia dalam doa kepada Tuhan, tuntunlah dalam pengenalan akan Firman Tuhan, tunjukkanlah kualitas hidup orang beriman, melalui tutur kata dan sikap yang membawa sukacita, supaya seisi rumah akan diberkati oleh Tuhan. Sehingga tepatlah ungkapan Paulus “suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh istrinya dan istri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya” (ayat 14). Dikuduskan berarti dipisahkan dari kehidupan yang cemar. Bila orang tua hidup kudus, maka anak – anak sebagai buah cinta akan menjadi anak – anak kudus bukan anak –anak cemar.
Jagalah kekudusan hidup sebagai pribadi yang memilih membujang, bagi yang sudah menikah tetap menjaga kekudusan perkawinan, setialah pada pasangan yang Tuhan berikan, jangan tergoda pada tawaran – tawaran yang akan merusak kebahagiaan rumah tanggamu, hiduplah sesuai dengan kehendakNya. Tuhan Yesus pasti menolong. Amin