Tema : Hikmat Lebih Berharga daripada Popularitas
Bacaan Alkitab: Pengkhotbah 4:14
Di awal perenungan ini, perkenankan saya untuk kembali menyampaikan SELAMAT PASKAH buat kita semua. Sesungguhnya Paskah membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan. Yesus bangkit dari kematian menunjukkan Ia berkuasa atas kematian, dan kalau Yesus berkuasa atas kematian maka berarti Dia adalah Tuhan, sebab hanya Tuhanlah yang berkuasa baik atas kehidupan maupun kematian. Karena sudah terbukti Yesus adalah Tuhan, maka patutlah seluruh ciptaan-Nya termasuk kita manusia harus sujud sembah kepada-Nya. Karena Yesus adalah Tuhan maka Firman-Nya adalah kebenaran yang patut kita taati. Karena Yesus adalah Tuhan, dari pada-Nya-lah kita menaruh pengharapan akan pertolongan-Nya
Jemaat yang dikasihi Tuhan.
Di hari Paskah kedua ini Tuhan Yesus memberi petunjuk hidup yang sangat penting bagi kita melalui FirmanNya yang tertulis dalam Pengkhotbah 4:13 yang akan kita renungkan di bawah tema: “Hikmat Lebih Berharga Dari Pada Popularitas.“ Teks Firman Tuhan Pengkhotbah 4:13 ini sekali lagi berkata, “Lebih baik seorang muda miskin tetapi berhikmat tetapi seorang raja tua tetapi bodoh, yang tak mau diberi peringatan lagi.” Bentuk sastra dari teks Firman ini adalah puisi dengan menggunakan gaya bahasa atau majas, dalam hal ini majas pertentangan. Ada dua substansi yang dipertentangkan di sini. Substansi yang pertama ialah seorang muda yang miskin tetapi berhikmat, dan substansi yang kedua ialah seorang raja tua tetapi bodoh yang tak mau diberi peringatan lagi. Dua substansi dalam teks Firman ini sesungguhnya menggambarkan dua realitas kehidupan yang dikotomis – yang bertentangan tapi yang selalu berbarengan. Di satu pihak ada sekelompok orang yang hidup dalam kemiskinan dan tidak memiliki akses pada kekuasaan dan kekayaan untuk merobah taraf hidupnya yang miskin, sementara di pihak lain ada orang-orang yang memiliki kekuasaan dan karena itu tentu hidup dalam kelimpahan harta kekayaan. Selain itu di satu pihak ada orang-orang muda yang tidak punya pengalaman sebagai modal untuk bekerja demi memperoleh nafkah dan kehidupan yang mapan, tetapi di lain pihak ada orang-orang tua dengan segudang pengalaman sehingga memiliki akses yang besar terhadap perolehan nafkah dan hidupnya mapan.
Dua kenyataan yang dikotomis ini mendorong sebuah perenungan kontemplatif yang memunculkan pertanyaan bagi Pengkhotbah. Bagaimana caranya orang-orang yang miskin, yang tidak punya banyak pengalaman dan akses pada kekuasaan untuk bisa merubah keadaan hidupnya menjadi sejahtera? Dan apakah orang-orang yang kaya, yang memiliki kekuasaan dan segudang pengalaman akan terus hidup dalam kemapanannya? Dari perenungan kontemplatifnya pengkhotbah pun terdorong mengamati realita kehidupan, dan Pengkhotbah mendapati bahwa ternyata ada orang-orang yang meski miskin harta dan miskin pengalaman yang ternyata bisa merubah taraf kehidupan menuju pada tingkat kesejahteraan yang tinggi, dan itu disebabkan karena mereka memiliki hikmat dan menjalani hidup dengan berhikmat. Dan Pengkhotbah pun mendapati pula bahwa ada orang-orang yang berkuasa, kaya akan pengalaman dan kaya akan harta kekayaan yang hidupnya jatuh miskin, disebabkan oleh pengabaian terhadap hikmat, di dalamnya nasehat dan peringatan. Maka Pengkhotbah menyimpulkan, ada cara yang dapat membuat orang-orang yang miskin pengalaman dan harta untuk hidup sejahtera, yaitu jika mereka memiliki hikmat, dan ada kemungkinan bagi orang-orang yang hidupnya kaya, sejahtera dan berkuasa untuk jatuh miskin, yaitu jika mereka mengabaikan hikmat yang didalamnya ada nasihat dan peringatan. Hasil perenungan ini kemudian dicatat oleh Pengkhotbah menjadi sebuah proposisi yang logis, pesan yang tak terbantahkan, yaitu: “Lebih baik seorang muda miskin tetapi berhikmat dari pada seorang raja tuatetapi bodoh, yang tak mau diberi peringatan lagi.” Proposisi ini mengandung dua hipotesis (asumsi dasar). Pertama, Jika orang yang miskin dan tak berpengalaman memiliki hikmat, maka ia dapat mengalami perubahan taraf kehidupan menjadi sejahtera. Kedua, jika orang yang berkuasa dan kaya mengabaikan hikmat, maka ia akan jatuh miskin. Dengan kata lain orang miskin yang memiliki hikmat akan menjadi mapan dan sejahtera dan orang kaya yang mengabaikan hikmat akan jatuh miskin. Jadi hikmat adalah kunci pada kehidupan yang mapan dan sejahtera.
Jadi, substansi pesan dari Pengkhotbah 4:13 ini adalah carilah hikmat, kejarlah hikmat, milikilah hikmat dan hiduplah di dalam hikmat, sebab itulah kunci dari keberhasilan dalam hidup, keberhasilan dalam tugas, keberhasilan dalam keluarga, keberhasilan dalam menggapai cita-cita, keberhasilan dalam kepemimpinan, keberhasilan dalam pelayanan dan keberhasilan dalam hidup sebagai orang percaya.
Jemaat yang dikasihi Tuhan.
Sekarang pemahaman teks ini mari kita tarik pada tema perenungan kita, yaitu hikmat lebih berharga dari pada popularitas. Di sini hikmat dan popularitas pun dipertentangkan, bahwa hikmat adalah hal yang lebih berharga dari pada popularitas. Popularitas yang dimaksud di sini adalah suatu keadaan di mana seseorang menjadi begitu terkenal dan dikenal oleh khalayak umum di suatu tempat. Seseorang bisa menjadi populer jika memiliki sebuah skill (keahlian khusus) seperti keahlian bernyanyi, menari, keahlian dalam beracting dalam film, sinetron, broadcasting dan lain sebagainya. Selain itu seseorang bisa juga menjadi populer bila mendapatkan posisi/ kedudukan yang strategis dalam politik, pemerintahan atau pun suatu entitas tertentu dalam masyarakat termasuk entitas agama, termasuk di dalamnya gereja. Popularitas yang dimiliki seseorang dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk membangun nilai-nilai kehidupan. Seseorang yang memiliki popularitas pasti menjadi sosok yang banyak disukai, maka kepopularitasan seseorang dapat menjadi sarana yang efektif untuk menanamkan pesan-pesan yang konstruktif (membangun). Pesan-pesan moral dapat ditanamkan dengan baik misalnya pesan-pesan religius dalam hal ini Firman Tuhan dapat ditanamkan dengan efektif oleh seorang publik figur melalui pidato, khotbah dan gaya hidupnya setiap hari terhadap begitu banyak orang. Tanpa hikmat seseorang yang memiliki popularitas akan terjerumus pada kesombongan dan arogansi yang pada gilirannya akan menjadi bomerang yang menyerangi dirinya sendiri, tapi dengan hikmat popularitas akan menjadi kesempatan untuk membawa kebaikan bagi orang lain. Saudara-saudara, yang diberkati Tuhan.
Popularitas adalah sesuatu yang relatif. Bisa baik, bisa jahat. Tergantung siapa pemilik poipularitas itu. Tetapi hikmat, pasti selalu baik dan akan selalu membawa pada kebaikan. Bila demikian apakah hikmat itu? Hikmat adalah tahu mana yang baik dan benar dan mana yang tidak baik dan tidak benar, dan tahu cara dan waktu yang tepat untuk melakukan yang baik dan benar serta menolak yang tidak baik dan tidak benar.
Untuk memiliki hikmat, yaitu kemampuan untuk tahu mana yang baik dan benar dan mana yang tidak baik dan tidak benar, serta tahu cara dan waktu yang tepat untuk melakukan yang baik dan benar serta menolak yang tidak baik dan tidak benar, caranya adalah belajar. Dan cara belajar untuk menjadi orang yang berhikmat ialah dimulai dengan takut akan Tuhan, sebagaimana Amsal 9:10a, yang berkata, “permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan”. Setelah memiliki takut akan Tuhan, pelajarilah Firman Tuhan untuk memiliki pengetahuan yang baik dan benar serta prilaku hidup yang baik dan benar, dan berbarengan dengan itu pelajarilah ilmu-ilmu yang baik dan berguna untuk kehidupan, tekunilah ilmu-ilmu itu, dan kemudian terapkanlah semua ilmu dan pengetahuan yang didasarkan pada takut akan Tuhan dalam kehidupan setiap hari, dalam kepemimpinan, dalam pelayanan, dan dalam segala lini kehidupan.
Kita sudah melihat sejak awal bahwa hikmat lebih berharga dari pengalaman, kekuasaan dan kekayaan, kini kita sudah melihat juga bahwa hikmat lebih berharga dari popularitas. Pastinya, hikmat dapat membuat orang memiliki popularitas, tetapi juga pengabaian akan hikmat dapat membuat orang yang memiliki popularitas menjadi tidak populer. Hikmat dapat membuat seseorang menjadi pemimpin yang populer, tetapi mengabaikan hikmat dapat membuat orang gagal dari kepemimpinannya. Kepemimpinan sesungguhnya adalah anugerah Tuhan untuk membuat seseorang menjadi berkat bagi banyak orang, namun kepemimpinan yang menjadi berkat hanya akan terwujud jika dijalankan dengan hikmat.
Kiranya melalui penghayatan akan kebangkitan Tuhan Yesus, kita pun akan senantiasa terdorong untuk meminta dan mencari Hikmat dari Dia, Tuhan sumber segala hikmat, agar kita dapat menjadi orang-orang percaya yang berhikmat dan sukses. Amin.