PEMBACAAN ALKITAB: MATIUS 27:45-56
Saudara-saudara yang saya kasihi dalam Tuhan Yesus Kristus, saya di hari Jumat Agung ini, di dalamnya ada perayaan Perjamuan Kudus, menyampaikan salam kepada seluruh warga GMIM bahkan masyarakat pada umumnya. Perayaan Jumat Agung di tahun 2020 ini memiliki konteks situasi yang sangat berbeda dibandingkan dengan tahun yang baru kita lewati 2019. Sekarang ini secara menyeluruh, secara global kita sementara berada dalam konteks dimana COVID-19 ini menjadi ancaman yang besar bagi dunia ini.
Saya percaya dalam perayaan Perjamuan Kudus makan roti dan minum anggur di Jumat Agung ini, kita semua dimampukan untuk merefleksi, kita semua dimampukan untuk dalam kesetiaan iman mampu untuk hidup dalam suatu suasana yang ada keyakinan yang utuh bahwa Yesus yang mati di kayu salib telah membawa penebusan dan pengampunan yang utuh bagi manusia dan dunia ini. Sesungguhnya bicara tentang kematian, sifatnya sangat universal. Tetapi kalau kita berbicara tentang kematian Tuhan Yesus, itu tidak bisa dipisahkan dengan proses penebusan dan pengampunan untuk manusia dan dunia ini. Dan penebusan pengampunan yang telah kita alami melalui kematian Tuhan Yesus di kayu salib sungguh-sungguh telah memperlengkapi kita, memampukan kita untuk senantiasa hidup dalam kesucian dan hidup dalam kekudusan. Secara universal kita bicara tentang kematian ini, ketika seseorang meninggal dunia maka selesailah pekerjaannya, usahanya, tapi kalau kita berbicara tentang kematian Tuhan Yesus justru yang kita alami ialah melalui kematian-Nya, ini adalah satu pekerjaan yang dikerjakan oleh Yesus, suatu pekerjaan yang di dalamnya ada forgiveness dan redemption. Ada pengampunan dan penebusan yang utuh. Artinya ada pembebasan, ada pelepasan, ada penyelamatan dari dosa-dosa. Tapi sangat penting bagi kita di Jumat Agung ini dalam rangkaian kita merayakan Perjamuan Kudus makan roti dan minum anggur secara bersama-sama. Kita mendengar bahwa kematian Yesus adalah menebus dosa, kematian Yesus adalah proses penebusan yang utuh bagi manusia dan dunia ini. Tapi yang perlu kita hayati pada perayaan Jumat Agung ini adalah how to practice the forgiveness, how to practice the redemption, bagaimana kita tidak hanya memahami tentang pengampunan, bagaimana kita tidak hanya memahami tentang penebusan, tetapi bagaimana kita mempraktekkan penebusan dan pengampunan itu secara utuh bagi kehidupan bersama. Di sanalah the values, nilai daripada forgiveness, nilai daripada pengampunan yang utuh. Tidak hanya understanding kita, pemahaman kita, tidak hanya merumuskan suatu teologi, suatu doktrin tentang penebusan dan pengampunan melalui kematian Yesus. Tapi justru lebih daripada itu ialah how we practice, how can we practice, bagaimana kita mempraktekkan penebusan dan pengampunan itu supaya betul-betul akan membawa perubahan-perubahan yang sangat fundamental, yang sangat mendasar dalam human attitude, human behaviour, perilaku, tindakan daripada manusia.
Saudara-saudara, sesungguhnya kematian Yesus adalah suatu wujud nyata daripada unconditional love, suatu kasih yang tidak terbatas yang dinyatakan oleh Allah bagi manusia dan dunia ini melalui Yesus Kristus. Unconditional love ini yang kita terima melalui kematian Yesus Kristus di kayu salib dapat kita lihat dalam pembacaan yang kita telah baca dalam Matius 27:45-56 ini. Terutama bagaimana penghayatan dari para prajurit dan pasukan yang ada pada masa itu, kita boleh lihat dalam ayatnya yang ke 54 yaitu suatu faith recognition, pengakuan iman yang sangat nyata yaitu: “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah”. Dan kita dalam perayaan Perjamuan Kudus di Jumat Agung ini kita diajak sekalian untuk merefleksi, untuk menghayati tentang Yesus adalah sungguh-sungguh Anak Allah. Dan salah satu refleksi yang kita akan kerjakan pada perayaan Jumat Agung ini adalah table fellowship (perjamuan kudus), holly comunion. Dalam Perjamuan Kudus kita akan makan roti dan minum anggur bersama-sama yang memiliki dimensi kekeluargaan, yang memiliki dimensi persaudaraan, persahabatan yang mampu saling mengampuni, yang mampu saling melayani dan mengasihi satu dengan yang lain. Walaupun dalam perayaan Perjamuan Kudus kali ini, kita akan rayakan di rumah masing-masing, bukan di rumah Gereja. Dan ini merupakan tantangan bagi kita juga. Mengapa? Karena sudah sekian lama tidak hanya berpuluh-puluh tahun tapi beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun senantiasa melaksanakan Perjamuan Kudus di rumah Gereja. Tapi tahun ini kita merayakan di rumah-rumah. Ada banya issue, ada banyak pertanyaan, apakah pertanyaannya bersifat social questions, teological questions, pertanyaan yang bersifat sosial atau pertanyaan bersifat teologis, dan ini harus dijawab oleh Gereja. Dan firman Tuhan yang saya sudah bacakan pada hari ini adalah jawaban bahwa pewujud-nyataan unconditional love, Allah mengasihi dunia ini dengan tidak terbatas. Maka perayaan di rumah, makan roti dan minum anggur di rumah tidak akan mereduksi, tidak akan meng-simplify-kan, tidak akan menyederhanakan, tidak akan mengurangi nilai daripada table fellowship, Perjamuan Kudus bersama. Kita melaksanakan Perjamuan Kudus di rumah tidak akan memiskinkan persaudaraan kita, tidak akan memiskinkan persahabatan kita, tidak akan memiskinkan kekeluargaan kita.
Saya percaya bahwa sebagai warga Gereja GMIM melalui pelayanan para Penatua, Syamas, Guru Agama dan Pendeta baik di kolom maupun di Jemaat dan di kategorial BIPRA, saya sangat meyakini pendekatan-pendekatan pelayanan penggembalaan katekisasi, pemuridan, telah memperlengkapi warga Gereja sehingga dapat melaksanakan Perjamuan Kudus di rumah dengan hati yang ada ketulusan dan keikhlasan. Yang paling penting saya mau katakan ialah bagaimana kita menerima penebusan dan pengampunan yang telah dikerjakan oleh Yesus Kristus melalui kematian-Nya di kayu salib. Kita akan mampu merayakan Perjamuan Kudus makan roti dan minum anggur ini melalui memiliki niat, memiliki hati, memiliki ketulusan dan keikhlasan untuk mengampuni, untuk melayani dan mengasihi orang lain. Supaya ketika kita makan roti, kita minum anggur, memiliki suatu kualitas iman yang betul-betul dapat membawa perubahan-perubahan dalam kehidupan pribadi, keluarga, jemaat dan masyarakat. Biarlah kiranya kita dalam kesadaran iman, kita sungguh-sungguh mengungkapkan dari hati yang paling dalam, dari suatu keyakinan iman yang paling dalam bahwa Yesus Kristus yang mati di kayu salib, di Golgota, Ia sungguh adalah Anak Allah. Yang telah membawa pengampunan dan penebusan yang utuh, yang telah memampukan kita untuk hidup hanya mengasihi Tuhan, untuk hidup hanya mengandalkan Tuhan dan hidup menghadirkan damai sejahtera dalam kehidupan bersama. Saya percaya bahwa tantangan kita ketika kita makan roti dan minum anggur dalam perayaan Perjamuan Kudus di Jumat Agung ini, di dalam rumah kita, di tetangga kita, di masyarakat kita, kita menyaksikan berbagai rintihan hati yang sangat dalam, penderitaan yang sangat dalam. Ada begitu banyak saudara kita, sahabat kita, keluarga kita yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Ada begitu banyak saudara kita, sahabat kita, yang dirumahkan tanpa gaji. Ini suatu suasana yang saya katakan rintihan hati yang sangat dalam. Saya yakin, melalui makan roti dan minum anggur, melalui pengakuan iman yang nyata bahwa Yesus yang mati di kayu salib adalah sungguh Anak Allah, akan mampu memulihkan kita melalui meningkatkan kualitas pelayanan diakonal di Jumat Agung ini. Kita mau berkorban melihat orang lain. Ini dimensi diakonal, yang kuat membantu yang lemah, yang lemah menguatkan yang kuat.
Saya mengajak sebagai seorang Pendeta, sebagai seorang Gembala, sebagai Ketua BPMS GMIM, supaya para Penatua, Syamas, Guru Agama dan Pendeta di jemaat-jemaat, di wilayah pelayanan GMIM, sungguh-sungguh mau melakukan tugas panggilan Gereja di dalamnya adalah upaya diakonia. Mampu melihat, menolong, bahkan mengorbankan diri kita sehingga kita boleh melihat saudara-saudara kita yang mengalami pemutusan hubungan kerja, yang dirumahkan tanpa gaji, nilai produksi yang menurun dan produksi yang sungguh-sungguh tidak dapat menjawab kebutuhan pasar yang ada saat ini. Karena itu saya mengajak warga GMIM bahkan masyarakat yang ada di Sulawesi Utara ini, marilah bersama-sama dengan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, bersama dengan Pemerintah, bersama dengan TNI-POLRI, kita melakukan upaya diakonal, tidak hanya memberi beras, memberi gula, kopi, memberi uang, tapi juga bagaimana kita mau berkorban, mau melaksanakan physical distancing, mau melaksanakan jaga jarak, dan ini memang sangat sulit bagi kita yang memiliki nilai dan budaya. Kalau ketemu jabat tangan, kalau ketemu kita selalu berpelukan dan melakukan cium kudus. Ini tantangan, kita pergi bekerja kita jaga jarak. Tapi kalau kita disiplin, kalau kita mau berkorban, melaksanakan physical distancing secara konsisten maka ini adalah upaya diakonal kita, refleksi iman kita, ketika kita makan roti dan minum anggur dalam perayaan Perjamuan Kudus dan ini akan memutus mata rantai penyebaran COVID-19 ini. Supaya harapan kita semua di waktu yang akan datang, kita boleh bersama di rumah Gereja, dalam satu meja perjamuan kudus, kita duduk saling mengampuni, kita duduk saling melayani dan mengasihi satu dengan yang lain. Sambil makan roti dan minum anggur dengan meningkatkan kualitas persaudaraan, kekeluargaan dan kerukunan. Dengan demikian maka saya meyakini penderitaan dan kematian Tuhan Yesus di kayu salib betul-betul kita refleksikan, betul-betul kita menerima pengampunan dan penebusan dan kita mempraktekkannya dan di sanalah nilai kehadiran kita sebagai orang-orang yang menaru percaya kepada kematian dan kebangkitan Yesus ini, kita betul-betul membawa pengharapan, membawa penghiburan dan kepastian. Sambil kita rajin baca Alkitab, sambil kita setia berdoa, dan giat bekerja dari rumah kita masing-masing. Tuhan Yesus menolong kita semua, selamat menikmati dan merayakan Jumat Agung dan Perjamuan Kudus di tahun 2020 ini sambil meyakini bahwa Tuhan mengasihi kita dengan kasih yang tidak terbatas dari sekarang ini sampai selama-lamanya. Amin.