Ditulis oleh : Dr. Hun Pinatik S.Th M.Si
Era digital membawa perubahan besar dalam kehidupan Gereja. Era digital adalah periode dimana segala sesuatu dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi dan internet.
Penggunaan teknologi dan akses internet sehari-hari membuat segala sesuatu menjadi lebih praktis. Pawartaan gereja tidak lagi bersifat konvensional (umum) seperti ibadah onsite atau kehadiran secara langsung di lokasi.
Saat ini, jemaat bisa melaksanakan ibadah secara online tanpa membatasi aspek spiritualitas atau hubungan langsung seseorang dengan Tuhan. Mendengarkan ajaran gereja dapat diakses lebih mudah karena bisa diperoleh melalui sumber-sumber internet. Komunikasi antarpelayan khusus dan jemaat semakin mudah, fleksibel, dan menjangkau area yang cukup luas. Dengan demikian, realitas akan keberadaan Yang Ilahi (sakral) yang awalnya dipahami berada dalam area geografis gereja, kini dipahami secara lebih luas dan tanpa batasan geografis.
Sakralitas gereja tidak lagi dibatasi oleh letak geografis dengan titik koordinat tertentu, karena pemberitaan Firman telah melampaui ruang geografis bangunan Gereja. Firman Tuhan, khotbah, doa, dan nyanyian gerejawi yang dahulu hanya diterima umat melalui pengeras suara di dalam gereja, kini dapat diakses melalui handphone, laptop, komputer, tablet, dan tv.
Bahkan, melihat sakramen Perjamuan Kudus dan Baptisan dapat diikuti melalui media sosial seperti Facebook dan live YouTube. Artinya, eksistensi (keberadaan) Yang Ilahi dapat dirasakan oleh umat melalui berbagai instrumen digital yang dibuat oleh manusia melalui pekerjaan hikmat Roh Kudus.
Gereja tidak bisa menutup dan membelenggu diri di era kontemporer/masa kini. Gereja perlu terbuka dengan wawasan kontemporer yang menawarkan pola hidup yang lebih praktis dan dinamis.
Era kontemporer menawarkan informasi yang bisa diakses secara cepat dan efisien dalam interaksi antarmanusia. Dengan kata lain, gereja hidup dalam komunitas online yang mempersepsikan segala sesuatu menjadi lebih praktis.
Gereja mengambil posisi sebagai komunitas inklusif (terbuka) akan perubahan sosial yang terjadi. Bukan membatasi diri pada paradigma atau pemahaman yang konservatif (tertutup) dan kaku. Keterbukaan terhadap perubahan adalah kunci utama bahwa gereja memahami bahwa ajaran Kristen berada dalam konteks dinamika zaman yang berbeda-beda.
Akan tetapi, bukan berarti gereja akan kehilangan arah, sehingga ajaran Kristen mengalami disrupsi dan disorientasi makna religius.
Disrupsi berarti umat tercabut dari akar pemahaman ajaran gereja yang benar karena pengaruh perkembangan teknologi digital yang memberikan akses membaca, mendengarkan, dan menonton beragam pemahaman yang mungkin keliru karena keluar dari dasar pemberitaan Firman Tuhan.
Selain itu, gereja juga jangan sampai mengalami percampuran pemahaman iman yang keliru di era digital, dimana setiap jemaat dapat mengakses ajaran gereja yang berbeda-beda dan beragam tanpa ada penyaring yang jelas, sehingga mengaburkan identitas dan pemahaman eklesiologinya (paham tentang gereja).
Gereja harus sangat adaptif dalam era digital yang rentan dengan fenomena disrupsi, juga harus cenderung memahami misi Allah yang sempurna tanpa menggores misi tersebut dengan kekeliruan pemahaman dari jemaat.
Karena itu, pekabaran Injil di era digital perlu dilakukan secara kolaboratif antara para pelayan, teolog, dan ahli dibidang teknologi, tanpa mengurangi isi dari pemberitaan Firman Tuhan. Keterlibatan aktif dari para pelayan, teolog, dan jemaat menjadi kunci interaksi yang dinamis dengan pemahaman yang jelas, karena bagaimanapun era digital menawarkan ruang tanpa batasan spasial (geografis) dan waktu untuk memuliakan Tuhan dalam persekutuan online.
Dalam konteks era digital, gereja dapat berpartisipasi secara aktif untuk mengkomunikasikan pewartaan dalam lingkup yang lebih luas. Menjangkau keterbatasan perjumpaan fisik antara pelayan dan umat yang terpisah jarak yang jauh.
Misi pewartaan gereja menjadi lebih efisien karena dapat memberikan pelayanan, pengajaran, pendidikan agama Kristen, konseling, aksi sosial, dan keterlibatan sosial yang lebih luas. Ini adalah wujud eksistensi Allah secara omnipotent (maha kuasa) dan omnipresent (hadir dimana-mana): dimana kuasa Tuhan yang tidak terbatas menjangkau keberadaan manusia melalui interaksi online pada penyampaian pesan dan pelayanan, sehingga jemaat dapat merasakan kehadiran Tuhan.
Banyak jemaat GMIM telah mempraktekkan praksis pelayanan dan pewartaan Firman Tuhan berbasis platform digital. Masa Covid-19 menjadi pintu masuk paling signifikan dari pelayanan dan pewartaan dengan menggunakan berbagai platform digital.
Penggunaan platform digital pada akhirnya telah menjadi habitus atau kebiasaan yang tidak dapat terpisahkan, sehingga mempermudah pelayanan. Era digital perlu dimanfaatkan oleh gereja untuk memaksimalkan pelayanan dan pewartaan demi hormat dan kemuliaan nama Tuhan Yesus sang Kepala Gereja.
Para sosiolog menyebut fenomena di atas sebagai spiritualitas online. Spiritualitas online adalah refleksi dan kepercayaan terhadap Allah dipahami melalui realitas online. Realitas tersebut tidak lepas dari interaksi antarumat untuk menghubungkan diri dengan Tuhan melalui beragam tindakan simbolik menggunakan platform digital.
Dalam konteks teologis, fenomena tersebut dapat ditafsirkan sebagai kehadiran Allah melalui instrumen platform digital untuk menumbuhkan iman umat tanpa batasan spasial (ruang geografis) dan temporal (waktu), karena Allah melampaui bahasa dan konteks kehidupan manusia, tetapi tetap berkarya dalam konteks kehidupan manusia. (dodokugmim/sara)