
Tulisan berjudul “Memperkenalkan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM)” pernah disampaikan oleh penulis dalam seminar Sejarah Kehadiran Iman Kristiani di Sulawesi utara dalam rangka Perayaan Tahun Iman Memperingati 50 Tahun pembukaan Konsili Vatikan II, Sabtu 9 Maret 2013 di aula Seminari Hati Kudus Yesus Pineleng kab. Minahasa Sulawesi Utara, oleh Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng. Tulisan ini penulis sajikan kembali dengan beberapa revisi dan penyesuaian untuk sumbangan HUT ke 80 Pdt.Prof.Dr. W.A. Roeroe
Pada tanggal 30 September 1934, jemaat-jemaat Indische Kerk di Minahasa akhirnya disahkan menjadi Gereja yang bersinode sendiri dengan nama: Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)
Pdt. Jonely Lintong
DODOKUGMIM.COM – Ketika kekuasaan VOC diserahkan kepada Pemerintah Belanda 1800 menyusul penginjilan yang tidak berlangsung intensif di tanah Minahasa, maka di situlah peran Badan Pekabaran Injil yaitu Nederlandse Zendelingen Genootschap (NZG) bentukan para saudagar dan pendeta di Rotterdam Belanda yang menjalin kerja sama dengan Kerkbestuur Indische Kerk di Batavia untuk tugas penginjilan.
Para misionaris NZG belajar bahasa Melayu, bahasa suku dan budaya Minahasa. Pewartaan Injil bukan dimulai dengan cara verbal dan dogmatis, melainkan dengan praktek memperkenalkan suatu kualitas hidup yang lebih maju.
Mereka bertindak sebagai penyuluh pertanian, petugas kesehatan masyarakat dan jurumedis mengobati orang sakit, pelatih pertukangan membangun rumah tinggal dan penataan pekarangan yang layak dan sehat, atau guru yang mengajar ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Mereka bergaul, pergi mengunjungi orang-orang di rumah dan di kebun, atau membuka pintu pastori mengundang orang-orang datang belajar. Salah satu segi yang paling mereka galakkan adalah pendidikan.
NZG di Minahasa (selain di Maluku dan Timor), melebarkan usaha penginjilan ke daerah lain di Hindia Belanda. Zendeling NZG yang membuka pos PI di luar tiga daerah itu, mengikutsertakan sejumlah guru sekolah dan penulong dari Minahasa.
Di jemaat-jemaat di Minahasa (tahun 1874 berjumlah 141 jemaat), dibentuk kelompok inti yang bertugas mengumpulkan persembahan untuk menyokong usaha pekabaran Injil.
Data pada tahun 1865 tercatat bahwa lebih 30% dari persembahan jemaat-jemaat digunakan untuk membiayai penulong dan guru ke dan di daerah-daerah lain. Inilah sejarah pertama kalinya orang Kristen Minahasa menjadi penginjil ke luar tanah Minahasa, dan jemaat—jemaat di Minahasa menopang pekabaran Injil itu.
Mulai tahun 1876, NZG menyerahkan urusan jemaat-jemaat di Minahasa kepada Indische Kerk. Inilah sejarah pertama kalinya jemaat-jemaat Protestan di Minahasa masuk ke dalam struktur gereja negara. Kerkbestuur Indische Kerk di Batavia menempatkan seorang Predikant Voorzitter (Pendeta Ketua) di Manado, yang mengetuai jemaat-jemaat Indische Kerk yang tersebar dari Sangihe Talaud sampai Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur.
Di Minahasa sendiri, para zendeling NZG tetap dipekerjakan dan diangkat sebagai pegawai negeri dengan jabatan hulppredikant (Pendeta Pembantu) bawahan predikant voorzitter, dan para penulong diangkat sebagai pegawai negeri dengan jabatan Inlandse Leraar (Guru Pribumi) bawahan hulppredikant. Tapi guru-guru sekolah NZG dibayar oleh NZG, dan guru-guru jemaat biaya hidupnya diambil dari kas jemaat.
Pada zaman Indische Kerk ini, pekabaran Injil ke luar terus berlanjut, malahan sampai ke Sumatera. Misalnya, H. C. Kruyt yang membuka pos PI di Batak Karo tahun 1890, membawa serta guru-guru Minahasa yaitu empat pasang suami-isteri: Benyamin dan Suzana Wenas, Johan dan Penina Pinontoan, Richard dan Sarah Tampenawas, Hendrik dan Mintje Pesik.
Dalam perjalanan waktu yang dipacu oleh beberapa faktor internal dan eksternal, maka sejak tahun 1920an Kerksbestuur Indische Kerk secara intensif mulai melakukan berbagai persiapan untuk memandirikan jemaat-jemaatnya di daerah-daerah.
Di Minahasa, selain Predikant Voorzitter Manado, Kerkbestuur Indische Kerk menempatkan Predikant Voorzitter Minahasa berkedudukan di Tomohon Dr. E. A. A de Vreede, untuk memimpin Komisi Persiapan Pendirian Gereja di Minahasa.
Pada tanggal 30 September 1934, jemaat-jemaat Indische Kerk di Minahasa akhirnya disahkan menjadi Gereja yang bersinode sendiri dengan nama: Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM). Peristiwa sejarah itu berlangsung dalam ibadah di gereja Tomohon (sekarang gereja Sion), kemudian ibadah perjamuan kudus di gereja Sentrum Manado.
Dalam tata gereja yang pertama tahun 1934 disebutkan bahwa, GMIM terdiri atas jemaat-jemaat di Minahasa dan di daerah pekabaran Injil (maksudnya jemaat—jemaat warisan Indische Kerk di Gorontalo, Buol—Tolitoli, Luwuk Banggai dan Donggala adalah juga jemaat—jemaat GMIM). Pengurus Sinode Melayani Gereja dan Masyarakat secara utuh GMIM yang pertama antara lain: ketua Pdt.Dr. E.A.A. de Vreede dan wakil Ketua Pdt.A.Z.R.Wenas. (dodokugmim.com/joshuanugraha)