DODOKUGMIM.COM, TARERAN – Keriput di wajah lelaki itu tampak jelas. Rambut putih mempertegas masa tua yang sedang ia jalani. Matanya tertutup, senyuman di bibirnya tersungging manis. Nada suaranya lembut menyapa. Begitulah kesan pertama berjumpa Jhon Mapaliey, pemilik lagu Bintang Pelakon Bakti, yang akan dilombakan dalam peringatan HUT GMIM Bersinode ke-85.
Nama lelaki berusia 82 tahun ini tak asing bagi pecinta musik gereja bahkan warga GMIM. Lagu-lagu ciptaannya kerap dijadikan lagu wajib dalam lomba paduan suara Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM, antaranya Bintang Pelakon Bakti, Ramai Rawan dan Bunga Kasih. “Sangat bersyukur atas kesempatan yang Tuhan berikan ini,” kata Mapaliey, ditemui di kediamannya, Sabtu (7/9/2019).
Menjadi seorang tunanetra bukan pilihan bagi Mapaliey. Tapi kondisi ini tak menghalanginya untuk mengembangkan talenta seni yang Tuhan berikan. “Saya tidak buta sejak lahir,” tutur pria yang kini menetap di Desa Rumoong Atas Tareran.
Mapaliey bercerita, dirinya terlahir normal seperti anak pada umumnya. “Saya bisa melihat sampai usia enam tahun. Di umur enam tahun itu, saya mengalami penyakit di mata dan tidak bisa diobati,” tutur lelaki kelahiran Magelang, 20 Juli 1937 ini.
Sakit yang tak bisa diobati itu lambat laun merengut penglihatannya, hingga akhirnya Mapaliey mengalami kebutaan. “Tuhan selalu ajaib. Saya dimampukan Tuhan untuk berkarya meski tidak bisa melihat,” tambah dia.
Sejak usia remaja, Mapaliey berkecimpung di dunia musik. Tiga seri lagu Maengket adalah karya pertamanya. Setelah tiga lagu Maengket ini, tahun 1956 ia mencipta lagu gerejawi pertamnya yang diberi judul “Tongkat dan Menara”. Sejak itu, ia terus berkarya dengan menghasilkan berbagai lagu gereja.
Suami dari Neltje Mamentu ini mengaku menemukan inspirasi dari alam. Melodi lagu-lagunya ia peroleh dari bunyi rintik hujan yang jatuh di tirisan rumah, di atas daun, bunyi angin di dedaunan dan banyak lagi. Syair-syair lagunya sangat filosofis dan teologis. “Tentang kita, alam dan Tuhan,” kata ayah dari Davidsen, Syutria dan Nelva ini.
Karya-karya Mapaliey tak hanya diakui gereja. Tanggal 9 Juni 2010, ia mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI), sebagai tunanetra pencipta lagu terbanyak. Penghargaan itu ia dapatkan setelah mencipta 200 lagu.
Mapaliey tak hanya menjadi kebanggan istri dan anak cucunya. Karyanya yang sangat sarat dengan nilai budaya Minahasa, menjadi kebanggaan GMIM, yang terus menggunakan karyanya di lomba-lomba paduan suara GMIM. Karyanya ini dapat dinikmati tanpa harus membayar. “Silahkan saja orang-orang menyanyikannya. Biarkan saja gereja memakainya. Ini semua pemberian Tuhan untuk kemuliaan namaNya,” terangnya bersemangat.
Diusianya yang ke 82 tahun, sudah ada 300 lagu yang ia ciptakan. Mapaliey tak hanya mencipta lagu. Sebagai seorang tunanetra, ia juga terlibat aktif dalam penginjilan. “Umur bukan menjadi penghalang bagi saya untuk terus berkarya dan mengabarkan Injil. Karena itu saya juga berharap seluruh warga GMIM bersemangat untuk mengabarkan Injil, bersemangat untuk melayani Tuhan,” pesannya.
Pada lomba paduan suara Pelsus antarwilayah dalam rangka HUT GMIM Bersinode ke-85, lagunya Bintang Pelakon Bakti akan dikumandangkan. Lagu ini wajib bagi semua peserta, seperti juga lagu-lagu lain miliknya di tahun 2018 dan 2017 silam. Apa tanggapannya?
“Semoga lagu-lagu ini tidak hanya dinyanyikan, tapi juga syairnya dihayati dan dilakukan,” ujar dia. Mapaliey berharap, kisah hidupnya dapat menyemangati orang lain agar tidak berhenti berkarya hanya karena keterbatasan fisik.(dodokugmim/ayukasenda)