Penulis : Pdt. Belly F. Pangemanan M.Th
SOBAT obor, akhir-akhir ini sering kita dengar sebagian kalangan mengklaim apa yang dilakukannya dengan mengatasnamakan ‘bela nama Tuhan.’ Di sisi lain ada yang berpendapat Tuhan sudah benar dan tidak perlu dibela. Mungkin kita pernah mendengar kalimat atau tulisan ini muncul di media sosial ataupun kita pernah bagikan di media sosial kita. Kalimat yang menyatakan “Allah tidak perlu dibela”. Kalimat ini bisa menimbulkan pro dan kontra, sebab kalimat ini dapat memberi pemahaman bahwa hanya Allah yang lemah saja yang harus dibela oleh manusia. Allah yang luar biasa, maha segalanya, DIA lah yang harus menjadi pembela manusia dan Allah yang kuat seperti itulah yang tak perlu dibela. Bahwa Allah itu lemah yang karenanya Dia perlu dibela. Jika Allah Mahakuat, untuk apa Dia dibela. Barangkali pemahaman ini muncul dari orang yang gagal paham tentang makna di balik kalimat membela Allah. Kesan yang ditangkap adalah bahwa karena Allah dibela, berarti Allah itu adalah pribadi yang lemah, bukan Pribadi Yang Mahakuat dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Tapi pada sisi lain, membela Allah (atau selajutnya dipahami membela agama) lahir dari kondisi ketika simbol-simbol agama dilecehkan, dinodai dan dicemarkan. Dan untuk melakukan pembelaan atas nama (membela kemurnian) agama, Kitab Suci, dan Tuhan, terkadang dilakukan dengan tindakan kekerasan. Adanya tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama merupakan suatu paradoks. Sebagai ajaran suci, agama pada dasarnya membawa pesan dan mengajarkan perdamaian, persaudaran, keadilan. Hanya saja, egoisme dan fanatisme beragama dari sebagian umatnya sering memunculkan aksi-aksi yang justru bertentangan dengan ajaran agama tersebut. Munculnya paham dan aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama antara lain akibat adanya paradigma bahwa agama hanya sebagai media untuk membela Tuhan dan menegakkan kepentingan Tuhan. Akibat paradigma ini, maka bila ada umat agama lain atau satu agama melakukan aktifitas yang berbeda, maka dianggap telah melecehkan agama, melecehkan Tuhan, sesat da harus di usir atau bahkan dibunuh.
Sobat obor, dalam Alkitab, dikisahkan bahwa diseputaran penangkapan Yesus terjadi suatu tindakan kekerasan yang dimotivasi untuk membela Tuhan. Peristiwa penangkapan Yesus didahului sebuah tindakan pengkhianatan dari orang dekat Yesus sendiri. Sekarang rombongan penangkap Yesus telah tiba. Lihatlah, rombongan ini diarahkan oleh Yudas Iskariot, yaitu murid Yesus sendiri. Rombongan orang dengan pedang dan pentung harus dikerahkan, Mereka mengerahkan rombongan orang banyak itu seperti mau menangkap perampok berbahaya. Ciuman yang menandakan keakraban dan kasih persaudaraan itu diberikan sebagai tanda bahwa itulah orang yang harus ditangkap mereka. Bagaimana sikap Yesus dalam menghadapinya? Walaupun Yesus dibenci, tidak disukai, dicemburui, namun Ia tidak balas membenci dan membalas kejahatan mereka. Maka Yesus segera berseru untuk mencegah keributan yang lebih besar dengan cara menyuruh pengikut-Nya menyarungkan pedangnya. Yesus tidak datang dengan pameran kuasa dan kekuatan-Nya. Jika Dia mau menunjukkan kuasa dan kekuatan-Nya, tentulah Dia tidak akan memanggil muridNya.Yesus bisa saja memanggil para malaikat-Nya untuk datang berperang dengan-Nya. Namun walaupun itu bisa digunakan namun Dia tidak menggunakan itu. Yesus melawan kekerasan itu tidak dengan kekerasan, tetapi dengan cara-cara damai Sobat obor, kisah Alkitab ini menunjukan kasih dan kesetiaan dari pihak Allah dan pengkhianatan dari pihak manusia, kendati manusia telah dikasihi dengan kesetiaan yang abadi. Kasih setia-Nya juga memuncak dalam pengampunan, damai sejahtera, dan bukan balas dendam, apalagi penistaan dan penghinaan, bahkan sekalipun terhadap musuh. Alih-alih membenci, Yesus mengajarkan sikap mengampuni. Alih-alih balas dendam, Yesus mengajarkan cinta kasih dan pengampunan mendalam. Ini lah teladan yang harus diikuti, jadi haruskah kita membela Tuhan? Tentu tidak dengan kekerasan, namun dengan mewartakan kasih dan pengampunan pada dunia. Amin (bfp)