Pdt, Melki Tamaka, M.Th (Penulis adalah Sekretaris Departemen Kearsipan dan Litbang Sinode GMIM
DODOKUGMIM.COM – Khotbah ini saya mulai dengan lagu:
“Hendaklah kau iring Yesus Pikul salib,
jangan takut dan gelisah ikut Tabib.
Pikullah salibmu serta pandang tetap,
hingga dapatlah mahkota sukar lenyap.”
Memikul salib pada hari jumat itu, yang kemudian kita kenal sebagai Jumat Agung, Yesus dibawa ke luar untuk disalibkan (ayat 20b). Yesus memikul salib menuju Golgota, Tempat Tengkorak adalah bagian terakhir dari perjalanan penderitaan Yesus, bagian akhir dari via dolorosa.
Simon dari Kirene. Seorang “yang baru datang dari luar kota” (ayat 21). Tiba-tiba saja ia dipaksa memikul salib, tanpa tahu juntrungannya. Bukankah ini dengan tepat menggambarkan rona kehidupan yang kadang-kadang kita jalani? Di mana tiba-tiba saja dipaksakan ke atas bahu kita, entah dari mana, dan dengan alasan apa.
Perjalanan hidup ini tidak pernah lepas dari penderitaan, siapa pun kita. Walau kita adalah orang percaya, kita juga tidak pernah dijanjikan Tuhan hidup tanpa cobaan. Malah, seperti Simon. Tetapi salib seperti itulah, yang kadang-kadang mengubah seluruh perjalanan hidup kita ke depan, bukan? Seperti penderitaan yang kita alami saat ini akibat dampak pendemik virus corona. Ada orang yang biasanya lebih suka di luar rumah, bahkan jarang tinggal di rumah, sekarang jadi sering di rumah. (Orang Manado bilang: Torang di rumah saja!) Karena corona, 1003 pintu gereja di pelayanan GMIM tertutup untuk pelayanan ibadah, tetapi ada ribuan pintu rumah warga gereja terbuka untuk kembali beribadah kepada Tuhan. Kemudian muncullah kesaksian dari beberapa keluarga bahwa “ada banyak pengkhotbah-pengkhotbah baru di GMIM yang dipakai Tuhan memberkati keluarga mereka”. Jalan hidup kita diubahkan karena corona.
Karena salib itu, Simon tidak lagi Simon yang sebelumnya. Ia kemudian menjadi pengikut Yesus yang sadar. Dua putranya, Aleksander dan Rufus (ayat 21), kelak dikenal sebagai tokoh-tokoh Kristen. Saya yakin hasilnya pasti akan amat berbeda, sekiranya Simon cuma berhenti pada menggerutu, mengeluh dan memprotes salib yang diletakkan di atas bahunya yang tak rela itu. Puji Syukur, Simon mengambil sikap yang tepat. Yaitu, mengusahakan yang terbaik dari situasi yang terburuk. Ia pun memperolehnya. Ia memperoleh Yesus.
Sebagaimana Simon dari Kirene, Yesus meyakinkan kita, bahwa menghadapi kesulitan dan tantangan sebesar apa pun seperti COVID 19 ini, jangan mudah menggerutu, mengeluh, apalagi putus asa, karena kita tidak sendiri. Sekali lagi : kita tidak sendirian. Dalam mitologi Yunani ada dewa bernama Atlas yang dihukum oleh para dewa lainnya. Apa hukumannya? Atlas dihukum memikul seluruh bola dunia itu seorang diri, di atas bahunya, untuk seumur hidupnya!
Yesus mau meyakinkan kita, bahwa kita bukan Atlas! Kita tidak sendiri memikul seluruh beban penderitaan kita itu. Kita tidak sendirian menghadapi virus corona. Kita bersama dengan semua orang di dunia ini, siap bekerja sama dan sama-sama bekerja untuk memutuskan rantai virus ini dengan Rest in Home, supaya kita tidak Rest In Peace, artinya kita akhirnya ditinggalkan sendiri di kuburan. Selama kita berani bersama dan bersama berani menghadapi dengan sepenuh hati, pikiran dan jiwa maka kita akan selalu mampu mengatasinya. Untuk itu menghadapi virus corona ini kita harus berani untuk bersama di rumah saja.
Kuasa yang kita hadapi seperti virus corona ini memang besar kuat dan hebat! Jangan diremehkan! Tetapi ada yang lebih hebat! Kuasa Kristus. Atau, kalau saya mau katakan; virus corona ini hanya dapat membunuh tubuh tetapi tidak dapat membinasakan jiwa.
Kita memang sementara berada di Minggu Sengsara, kita sementara menghadapi masa sulit. Tetapi jangan mengandalkan kekuatan sendiri untuk menghadapinya. Kita akan kalah! Juga jangan mengandalkan kekuatan-kekuatan besar yang ada di sekitar kita! Kita akan kecewa! Kita harus yakin, seperti yang sering kita dengar “Tuhan tidak akan memberi cobaan yang tidak mampu diatasi.” Andalan kita yang percaya cuma satu: kuasa Allah di dalam Yesus Kristus, yang menanggung dosa kekejaman dunia dengan memikul salib-Nya.
Kita sebagai orang percaya harus siap menghadapi ujian iman melalui berbagai pencobaan. Ingatlah, bahwa sebesar apa pun pencobaan yang diperhadapkan kepada kita. Yesus pasti menolong kita. Dialah tabib, ikutlah Tabib. Berserulah kepada-Nya, minta tolong, maka virus corona ini berlalu.
Salib Yesus bukanlah hukuman yang pantas untuk kejahatan-Nya. Berbeda dengan salib pada Simon, apalagi salib dua orang penjahat di samping Yesus. Penjahat di sebelah kiri, sampai titik ajalnya, tak pernah menyesal dan bertobat. Ia menyalahkan semua orang, kecuali mempersalahkan diri sendiri. Sikap ini juga sama persis yang dilakukan orang-orang-orang yang lewat, imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat, menyalahkan Yesus (ayat 29-31). Penjahat itu, memikul salib. Tetapi salibnya tidak memberi harapan. Tanpa pertobatan, tak akan ada perdamaian. Tanpa berdamai dengan Allah, tak akan ada kelepasan.
Penjahat yang disalibkan di sisi kanan Yesus, tampil beda, mungkin pertama kali ia mencela, ayat 32 ” kedua orang yang disalibkan bersama-sama dengan Dia mencela Dia juga”. Namun kesaksian Injil Lukas 23:42, ketika berhadapan dengan Yesus, membuat ia malu akan dirinya sendiri, dan sadar betapa “nasibnya” kini, kalau ia mau selamat, semata-mata bergantung kepada Kristus. Karenanya ia cuma bermohon, tak sedikit pun merasa berhak menuntut. Tidak ada orang lain yang begitu pasti masuk sorga, kecuali si penjahat ini, seluruh kekejaman dari masa lampaunya yang hitam, lenyap seketika, ketika ia memahami, mengenali, menerima dan mau hidup dalam kasih Kristus! Apakah kita tidak ingin begitu? Salib itu, tanpa ia rencanakan, telah membawa ia berjumpa dengan Yesus. Perjumpaan ini ia sikapi dengan tepat, yaitu pertobatan dan ia selamat! Salib itu telah memberinya pengharapan.
Sekarang tidak ada salib Simon atau salib dua (2) orang penjahat, yang ada salib kita masing-masing. Pikullah salibmu, seperti lagu awal khotbah tadi : “pikullah salibmu serta pandang tetap, (jangan pandang yang lain, pandanglah Yesus yang memikul salib bagimu), hingga dapatlah mahkota sukar lenyap.”
Bukan sembarang mahkota yang sementara atau crown atau corona yang membawa kematian, dan mahkota itu akan berlalu dan pasti akan berlalu. Tetapi siapa yang setia hingga ke tamat pada Yesus akan mendapatkan mahkota kehidupan, yang sukar lenyap, yang kekal.
Seorang tokoh Revolusi Perancis menulis kepada rekan seperjuangannya, “Telah terjadi pertempuran hebat. Kepala kita dalam bahaya. Ayo, segeralah datang ke sini dan berikan kepalamu!” Seperti inilah semangat militia Christi (serdadu Kristus) seharusnya. Pantang mundur. Juga ketika memikul salib adalah satu-satunya jalan yang terbuka untuk membuktikan ketaatan kita.
Seharusnya kita malu mengenai apa yang sering kita lakukan. Jangankan memikul salib. Tersinggung atau kecewa sedikit pun telah cukup menjadi alasan yang kuat untuk mengundurkan diri dari pelayanan. Kepada mereka, dengan simpati yang tulus, saya serukan: “Jangan mundur! Marilah dengan memandang kepada Yesus , kita mengabaikan kehinaan dan tekun memikul salib. “Yesus telah menderita di luar pintu gerbang. Marilah kita pergi kepada-Nya di luar perkemahan dan menanggung kehinaan-Nya ” (Ibrani 13:12-13). Diperkenankan menanggung kehinaan Kristus, adalah suatu kemuliaan!
Salib masih dipikul oleh sebagian besar umat manusia. Tetapi Yesus Kristus telah menaklukannya.
Amin.(dodokugmim/joanetab)