DODOKUGMIM.COM – Atas nama ‘self-reward’ maka manusia cenderung gemar melakukan segala sesuatu sebagai ‘rasa syukur’ yang dibuat sedemikian rupa tanpa adanya kata berlebihan karena menurutnya sudah sepantasnya ia lakukan demi menghargai usaha dan kerja kerasnya. Realita hidup membawa kita ‘lebe bae kalah nasi daripada kalah aksi’ karena kecenderungan manusia untuk menjalani hidup berdasarkan pengakuan orang lain sebab konstruksi sosial dalam masyarakat memberi standar akan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia itu sendiri.
Gaya hidup manusia di era post modernisasi dengan perkembangan teknologi dan industri yang kian pesat menggiring manusia kepada perilaku konsumtif dan individualis. Ada yang beranggapan bahwa mereka dengan gaya hidup seperti itulah yang mengikuti perkembangan zaman dan bagi mereka yang tidak memiliki gaya hidup seperti itu adalah manusia yang kudet. Maka, terjadilah kesenjangan sosial dan disharmoni hak di antara masyarakat. Hal ini menjadi perhatian gereja untuk membersamai persoalan hidup manusia yang kompleks. Dapat dimulai dengan menumbuhkan spiritualitas yang kuat untuk menguasai diri dengan hikmat Allah.
Dialog Xarmides membahas Sophrosune (bahasa Yunani) dimana manusia memiliki disposisi intelektual yang sehat dan memampukannya membuat penilaian dengan baik dan bajik sehingga tindakannya terukur. Dengan kata lain, Sophrosune dekat dengan kebijaksanaan praktis sehingga seorang manusia menjadi tahu batas. Dalam bahasa Indonesia, sophrosune diterjemahkan dengan kata keugaharian. Ugahari (KBBI) berarti sedang; pertengahan; sederhana. Sophrosune dalam Bahasa Indonesia juga mencangkum unsur moral (tahu batas) dan unsur intelektual yang bila diterjemakan bisa menjadi istilah mawas diri.
Spiritualitas keugaharian hadir di tengah hiruk pikuk gaya hidup konsumtif dan invidualis. Argumen bahwasannya kesejahteraan dan kebahagiaan didapat ketika hasrat manusia mengonsumsi barang-barang bermerek maupun kehidupan yang penuh dengan kemewahan dan pengagungan akan diri sendiri, dipatahkan oleh spiritualitas keugaharian yang memberi warna tersendiri mengenai arti kesejahteraan dan kebahagiaan, bahwa sesungguhnya itu datang dari sikap hidup manusia yang mampu mengendalikan diri dengan berkata cukup dan memperlakukan sesama seperti diri sendiri dengan meneladani gaya hidup Yesus yang membuktikan bahwa kesederhanaan memiliki makna yang mendalam.
Tampaknya menjadi persoalan mendasar dari spiritualias keugaharian tidak pada penetapan ukuran yang objektif mengenai apa sesungguhnya makna dari kata cukup itu, melainkan ini sungguh menjadi persoalan batiniah. Spiritualitas keugaharian adalah sebuah spiritualitas yang mencukupkan diri. Paulus lewat Surat Filipi 4 : 11 “Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri (autarkes) dalam segala keadaan”. Dalam Thayer’s Greek Lexicon mendefinisikan autarkes sebagai suatu sikap mencukupkan diri, tidak bergantung pada keadaan eksternal (di luar pribadi). Kata auto pada autarkes merujuk pada diri sendiri. Ini menandakan bahwa seseorang bertanggung jawab atas dirinya sendiri untuk mencukupkan diri.
Gaya hidup sederhana punya cara tersendiri menyikapi kehidupan modern. Taking life as it is. Dapat dijelaskan hidup dengan kesederhanaan sebagai sikap hidup yang secara lahiriah lebih sederhana dan secara batiniah lebih kaya. Ini berbeda hal dengan pemikiran yang cenderung mengotakkan kesederhanaan dengan kemiskinan/kemelaratan, kehidupan pedalaman dan menolak modernisasi.
Lantas, bagaimana dengan pemikiran yang membuat seseorang konsumtif karena ia mampu untuk membiayai gaya hidup seperti itu? Kepada mereka yang diberikan berkat yang kuantitasnya banyak maupun sedikit, diingatkan untuk berbela rasa dengan sesama yang membutuhkan uluran tangan. Perlu disadari manusia adalah makhluk yang terbatas dalam mengontrol nafsu manusiawi maka dibutuhkan hikmat Allah untuk menguasai diri. Hubungan yang intim dengan Allah mampu untuk mengendalikan keinginan manusiawi. Spiritualitas keugaharian juga dapat mengontrol manusia sehingga mawas diri untuk menetapkan pilihan dengan hikmat untuk memilih dan menimbang dengan benar apa yang seharusnya dikendalikan.
Keugaharian tidak berhenti pada gaya hidup yang sederhana tapi juga merupakan panggilan untuk solider dengan mereka yang termarginalkan, terpinggirkan, terisoler karena berbagai persoalan hidup. Belajarlah untuk mulai mencukupkan diri dengan bijak memaknai setiap berkat. Manusia diciptakan, diselamatkan, dan dipanggil untuk melayani Sang Pemberi. Oleh karena itu, serahkanlah dirimu sepenuhnya untuk memuliakan Allah. (dodokugmim.com/nugrahajosua)