Penulis : Ch. Brandon Jr. Koloway, M.Th, STM
DODOKUGMIM.COM – Perayaan pengucapan syukur adalah hal yang harus dirayakan bukan hanya ketika ada momen hasil panen pertanian atau perkebunan atau ketika seseorang mendapatkan berkat melalui pekerjaan, usaha dan apapun yang menghasilkan kesejahteraan ekonomi, tetapi justru perayaan pengucapan syukur sejati ialah pada saat seseorang dapat mengucap syukur kepada Allah di dalam Yesus Kristus ketika berada dalam situasi krisis, dalam penderitaan bahkan ketika hidup terasa begitu berat seperti yang kita alami saat ini dalam menghadapi krisis pandemik COVID 19. Iman kita sungguh-sungguh diuji melalui setiap krisis, apakah kita akan mengucap syukur dalam segala keadaan kepada Allah di dalam Kristus atau justru kita lebih banyak mengeluh atas apa yang terjadi dalam kehidupan pribadi dan keluarga?
Saya hendak membagikan kutipan lirik dari nyanyian Kidung Jemaat No. 333:1 & 2 berdasarkan Habakuk 3:17-19, demikian syairnya :“Sayur kubis jatuh harga, pohon tomat kena hama, Cengkeh pun tidak berbunga dan jualanku tidak laku. Namun aku puji Tuhan dan bersorak sukaria, Kar’na Dia Pohon s’lamatku. “Pohon padi tak berisi, sampar ayam pun berjangkit, Hewan ternak sudah habis, kar’na terpaksa aku jual. Kepada-Nya ku percaya, aku tidak akan jatuh: Tuhan Allah kekuatanku.”
Dalam syair tersebut mau menggambarkan bahwa setiap orang Kristen harus Puji Tuhan atau mengucap syukur, dan bersorak sorai dalam segala sesuatu terlebih karena Allah telah menjadi Pohon selamat dan menjadi kekuatan bagi orang percaya karena Allah didalam Yesus Kristus satu-satunya keselamatan dan harapan bagi orang Kristen.
Secara historis pada konteks masyarakat Minahasa, tentu ada alasan mengapa perayaan pengucapan syukur telah menjadi perayaan tahunan yang begitu luar biasa dalam budaya dan sosial masyarakat Minahasa. Kita harus mengakui bahwa pengucapan syukur yang dilaksanakan di tanah Minahasa pada dasarnya – jika melihat sejarah kebudayaan Minahasa – merupakan perayaan untuk mensyukuri akan adanya tuaian dari hasil-hasil pertanian. Sebab, masyarakat Minahasa adalah masyarakat agraris, yang bercocok tanam dengan hasil-hasil pertanian atau perkebunan, diantaranya : padi, jagung, cengkeh, pala, kopra serta bermacam-macam buah-buahan. Jadi, pengucapan syukur dapat dikatakan merupakan rasa syukur terhadap hasil pertanian masyarakat Minahasa yang diatur oleh gereja dan pemerintah. Meskipun begitu, perayaan pengucapan syukur dapat berpotensi munculnya beberapa persoalan dan masalah.
Apa jangan-jangan pengucapan syukur hanya sekedar mengarah kepada sifat hedonisme, konsumerisme bahkan karena faktor gengsi dari setiap individu ataupun sekelompok orang sehingga nilai dari pengucapan syukur itu sudah mengalami suatu pergeseran ke arah yang destruktif ? Beberapa orang bahkan melakukan pemborosan, pesta pora, mabuk-mabukkan, tak jarang terjadi perkelahian dan pembunuhan, kemacetan dan kecelakaan, bahkan lebih parah ada yang meminjam uang kepada orang lain atau berhutang demi memenuhi gengsi untuk mempersiapkan makanan dan minuman dengan berlimpah-limpah selama perayaan pengucapan syukur. Inilah hal-hal yang begitu memiriskan dan memprihatinkan dari perayaan ini. Padahal, yang diharapkan melalui perayaan pengucapan syukur adalah kesiapan hati untuk benar-benar bersyukur kepada Allah serta suasana pertemuan dan persekutuan yang penuh damai sejahtera dengan Allah baik secara pribadi maupun keluarga yang terus menghayati akan kasih Tuhan
Oleh karena itu, gereja terpanggil khususnya para hamba Tuhan yaitu para pendeta supaya dapat memberikan edukasi teologi kepada jemaat yang merayakan perayaan pengucapan syukur di tahun ini dengan lebih mementingkan esensi pengucapan syukur itu sendiri sebagai makna rasa terima kasih atas kehidupan yang sudah Tuhan anugerahkan dan mengucap syukur atas kebersamaan yang hidup bersama dengan keluarga oleh karena penyertaan Tuhan.
Krisis oleh karena pandemik Covid-19 seolah menampar cara berpikir kita tentang bagaimana memaknai perayaan pengucapan syukur yang sebenarnya. Ternyata Perayaan Pengucapan Syukur itu bukan kelihatan dari seberapa besar material yang kita miliki, bukan seberapa banyak dodol, nasi jaha, babi putar, bahkan makanan-makanan lain yang kita sediakan, atau bukan kelihatan dari seberapa banyak orang yang datang ketika kita undang. Namun perayaan pengucapan syukur ialah seberapa besar penghayatan kita atas penyertaan dan pemeliharaan Tuhan yang telah memberkati, menghidupkan, menguatkan dan menyelamatkan kehidupan kita serta konten atau isi dari pertemuan keluarga dalam perayaan pengucapan syukur ini ialah bagaimana “sharing” berbagi kesaksian tentang pekerjaan-pekerjaan Allah yang luar biasa telah terjadi atas kehidupan keluarga kita masing-masing. Itulah yang harus kita bagikan sebagai kesaksian yang hidup dan hal itu pasti akan menjadi berkat bagi banyak orang melalui perayaan pengucapan syukur.
Rayakanlah Syukur bersama Kristus. (dodokugmim/nugraha)