LUKAS 22 : 63 – 71
DODOKUGMIM.COM – Yesus memulai kehidupan di dunia ini dalam kandang domba, itulah kisah kelahirannya. Dan melalui jalan sengsara-Nya, Yesus diperlakukan seperti hewan. Dalam perenungan di Minggu Sengsara V ini, dalam Lukas 22:63-71, ketika Yesus di bawah ke Mahkamah Agama, bagaimana Ia diolok-olok, dipukul sambil ditutupi muka-Nya, memang tindakan yang bukan manusiawi lagi. Padahal hukum agama Yahudi tidak boleh memperlakukan seorang tahanan dengan kekerasan. Namun kenyataannya Yesus dibuat menderita dalam menjalani proses peradilan tersebut.
Penderitaan bukanlah hambatan bagi Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Yesus adalah Mesias yang menderita. Yesaya berkata, “Ia menderita dan menanggung luka bagi kita, tetapi kita berpikir bahwa penderitaan-Nya adalah hukuman Allah. Ia terluka dan hancur akibat dosa-dosa kita, dengan mengambil alih hukuman kita, Ia membuat kita sembuh.”
Itulah alasan mengapa Yesus disebut Mesias. Dan misteri itu terungkap saat Paskah, ketika Yesus dibangkitkan dari kematian. Jadi, Kristus (Mesias) yang sekarang kita ikuti adalah Mesias yang menderita. Ia ingin agar para pengikut-Nya juga menderita untuk pelaksanaan misi dan perwujudan kerajaan-Nya.
Di dalam ayat 67 ketika mereka bertanya: “Jikalau Engkau adalah Mesias, katakanlah kepada kami.” Yesus menjawab, “Sekalipun Aku mengatakannya kepada kamu, namun kamu tidak akan percaya; dan sekalipun Aku bertanya sesuatu kepada kamu, namun kamu tidak akan menjawab. Mulai sekarang Anak Manusia sudah duduk di sebelah kanan Allah Yang Mahakuasa.”
Ketika mereka semua berkata pada ayat 70: “Kalau begitu, Engkau ini Anak Allah?” Jawab Yesus: “Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah.” Pengakuan ini muncul dari mulut mereka yang mengolok Dia. Jika Allah mampu menyatakan kebenaran melalui mulut seekor keledai dungu Bileam, tentu Allah mampu juga menyatakan kebenaran melalui mereka yang mengolok-olok Dia.
Yesus memberi kesempatan terhadap orang banyak untuk mengubah ejekan menjadi pengakuan, juga cemoohan menjadi keyakinan, bahwa Yesus memang adalah Raja, Itulah sebabnya pada ayat 71, mereka memutarbalikkan kebenaran. Yesus tahu apa yang diucapkan-Nya sebagai kebenaran akan berubah menjadi ketidakbenaran. Hal ini mau mengatakan kepada dunia bahwa sekalipun di peradilan agama semua bisa diatur. Lembaga agama yang seharusnya menegakkan kebenaran yang dipimpin oleh Imam bersama 70 orang terkemuka ternyata penuh dengan rekayasa.
Di sidang Mahkamah Agama, dewan Sanhedrin mendakwa Yesus dengan tuduhan penistaan agama. Untuk mencapai tujuannya, mereka mempolitisasi kasus Yesus ke ranah politik Romawi. Mereka menuduh Yesus dengan dakwaan: memproklamasikan diri sebagai raja Yahudi. Sungguh tuduhan yang tidak masuk akal dan sengaja dibuat.
Untuk itu Tema Minggu ini: Awas, Politisasi Agama! Mau mengingatkan kepada gereja bahwa kekuasaan politis itu begitu menonjol dalam skenario dan narasi proses pengadilan Yesus yang ditunjukkan para pemimpin Yahudi. Pilatus, Herodes, Hanas, Kayafas, dan pemuka-pemuka agama Yahudi sebagai pihak yang memegang kekuasaan melakukan ‘tawar-menawar’ dengan orang-orang Yahudi yang memiliki tuntutan. Kepentingan masing-masing pihak dipertaruhkan! Deal-deal dan kesepakatan gelap dibuat demi mempertahankan status quo. Pemimpin Agama Yahudi dan Pilatus lebih memilih mempertahankan kedudukannya, ketimbang menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dalam pengalaman empirik, umat menderita bukan saja karena soal-soal sekuler, melainkan juga karena kekristenan mereka. Mereka dihujat, dinista, dikriminalisasi, dihambat kariernya, tidak naik pangkat. Bahkan, pernah ada kasus seorang karyawan dibatalkan pengangkatannya hanya karena ia beragama Kristen.
Kondisi seperti ini terjadi merata di ibukota negara dan berbagai wilayah negeri ini. Rekrutmen pemimpin dan pegawai dengan basis primordial dan SARA acap kali menjadikan warga gereja sebagai korban.
Namun lihatlah negara Afrika Selatan, yang puluhan tahun mempraktekkan politik apartheid (diskriminasi ras) kepada orang berkulit hitam, hanya bisa ditransformasikan oleh kuasa kasih, seperti ditunjukkan oleh Nelson Mandela, yang selama 27 tahun di penjara di Pulau Robben, tetapi setelah Dia dibebaskan, atas tekanan seluruh dunia. Nelson Mandela justru mengucapkan pidato pertama dengan pesan: “Mari kita saling mengampuni dan mewujudkan rekonsiliasi. “
Sekarang ini kita hidup dalam dunia yang sedang berubah cepat oleh karena percepatan teknologi informasi dan cengkeraman era digital. Perkembangan IT telah menghadirkan dunia yang makin menyatu, tanpa batas, dan menghadirkan sistem diseminasi informasi super cepat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Seperti yang kita lakukan dalam ibadah hari ini. Tidak terpikirkan boleh beribadah dengan penggunaan IT, untuk menjawab kebutuhan gereja di tengah situasi dunia yang dilanda virus C-19.
Kita hidup di tengah hantaman dan psywar seputar masalah berlabel agama, bentuk negara berbasis agama, rush money, demo bela agama, penistaan agama, berita hoax yang bernuansa provokatif SARA, dan berbagai isu lainnya.
Itu sebabnya, di tengah realitas ini, komunitas umat kristiani harus makin bersatu, teguh dan cerdas memahami tanda-tanda zaman serta memantapkan iman kepada Allah dalam Yesus Kristus. GMIM memasuki Minggu Sengsara V dalam rangka mengingat ulang jalan sengsara yang ditempuh Yesus demi menyelamatkan manusia.
Saudaraku, andai kita menderita dan mengalami sengsara karena kekristenan kita, tak usah malu, tetapi haruslah kita memuliakan Allah dalam nama Kristus. Yesus Kristus telah lebih dulu menderita bagi kita.
Allah menjadi Raja dalam penderitaan manusia. Pada tahun 1890-an, tornado mengguncang Minnesota hingga nyaris memusnahkan kota Richester. Ratusan orang meninggal dan banyak sekali yang terluka. Kemudian, seorang dokter tua bersama kedua anaknya datang memberi bantuan kepada penduduk kota itu. Bermula dari tindakan sosial tersebut, lalu muncul sebuah klinik yang terkenal hingga hari ini, yaitu Mayo Brothers Clinic. Ketika tornado datang, begitu banyak orang mengeluh, “Allah sudah melupakan kita!” Mereka lupa bahwa Allah bekerja melalui penderitaan dan kesengsaraan untuk menunjukkan kemuliaan-Nya.
Saat ini dunia berjuang melawan Corona, banyak yang menderita, tapi Allah sementara bekerja untuk mendatangkan kebaikan. Akuilah bahwa Dialah Mesias, Raja yang turut menderita bersama kita.
Pengakuan pada Yesus sebagai Raja harus muncul dari dalam hati dan tidak boleh menjadi sebuah doktrin yang kita temukan serta dapatkan dari orang lain. Ini bukan soal kebenaran ajaran, melainkan masalah hatimu pengakuan yang berasal dari dalam hati.
Pada saat nanti kita diberi kesempatan memakan roti dan meminum anggur Perjamuan Kudus, ajukanlah sebuah pertanyaan yang teramat penting kepada diri Saudara sendiri: “apakah saya mengakui Kristus sebagai Raja dalam hidup?” Pertanyaan Yesus kepada pemimpin agama Yahudi ini adalah pertanyaan yang juga diajukan kepada kita, untuk kita jawab serius: “Apakah engkau mengakui-Ku dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?”.
Yesus, yang hidupnya di dunia ini diperlakukan seperti hewan, menderita, dan mengakhiri hidup seperti seorang penjahat. Semuanya itu dilakukan-Nya untuk kita, karena Dia mengasihi kita.(dodokugmim/nataliatamangunde)