
Wilayah Manado-Teling
Khotbah Ryan 30 Juli 2023 Tawarikh
Seorang filsuf asal Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900) pernah bilang begini: “terkadang orang-orang tidak mau mendengar kebenaran karena mereka tidak ingin ilusi dalam sanubari mereka hancur lebur”. Dalam artian, lengkali torang menyangkali kebenaran melalui tunainderawi/disabilitas sensorik dalam arti metaforis. Jelasnya begini, kita hanya ingin melihat dan mendengar sesuatu yang mengenakan keadaan kita saja, dan seketika mengabaikan hal-hal yang menyakitkan batin sekalipun itu mungkin saja baik bagi kita. Kita membuka telinga untuk khotbah/nasehat/perjalanan hidup yang memuji-muji diri kita, dan menutup serapat-rapatnya khotbah/nasehat/perjalanan hidup yang menegur, mencubit, dan bahkan mencambuk.
Bukankah hal inilah yang mungkin sedang dirasakan Daud? Pada masa-masa tuanya, ia harus berdamai dengan realitas (kenyataan) yang tidak sesuai harapan dan rencananya. Sebab ternyata, Salomo, anaknyalah yang diberkahi Tuhan tanggung jawab untuk membangun rumah Allah, tempat kaki Allah bertumpu. Meskipun demikian, bukannya kecewa, raja ini malah begitu antusias dalam menopang perencanaan pembangunan bait Allah yang terlihat melalui bacaan kita saat ini. Pertanyaannya, mengapa? Padahal sudah jelas kalau Salomo yang dipilih Allah untuk mengemban tanggung jawab tersebut.
Untuk itu, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu konteks kitab Tawarikh. Berbicara mengenai kitab Tawarikh, kitab ini sering dianggap sebagai pelengkap dari kitab Samuel dan Raja-Raja dengan menceritakan ulang beberapa kejadian mengenai sejarah bangsa Israel yang disajikan lebih positif dan agak sedikit berbeda. Itulah mengapa, adanya perbedaan dalam menceritakan ulang sejarah bangsa Israel ini, sering mengundang perdebatan di kalangan para ahli. Padahal, perbedaan ini jelas menunjukkan bahwa sebenarnya penulis kitab Tawarikh memiliki tujuan lain, yang ingin disampaikan kepada para pembaca saat itu, yang adalah komunitas Israel yang baru saja kembali dari pembuangan di Babel. Sebab, sekembalinya mereka dari pembuangan, mereka sering diliputi rasa cemas dan bertanya-tanya, apakah mereka masih umat yang dikasihi Allah. Dan apakah janji yang pernah dinyatakan Allah kepada nenek moyang mereka, masih juga berlaku atas mereka.
Sebagai upaya menanggulangi kegelisahan mereka itu, penulis kemudian memulai kitab ini dengan menuturkan daftar keturunan nenek moyang mereka. Daftar keturunan ini bak berita sukacita bagi mereka yang cemas bahwa ternyata koten Israel masih merupakan bangsa yang dipilih dan dikasihi oleh Allah. Dengan kata lain, kitab ini muncul untuk mengingatkan mereka yang kembali dari pembuangan bahwa ternyata penyertaan Allah tidak pernah berhenti. Kasih Allah terhadap bangsa yang dikasihi-Nya ini, tidak akan pernah pudar.
Makanya jadi pengingat bagi kita sekalian, kitab ini jangan hanya dipandang sebagai kitab yang mengandung nuansa sejarah saja, melainkan juga memiliki nuansa teologisnya sendiri. Dan inilah inti pesan teologis dari kitab Tawarikh kepada bangsa Israel yang hidup di zaman pemulihan pasca pembuangan di Babel, bahwa Allah tetap mengingat, mengasihi, dan berdaulat atas kehidupan umat pilihan-Nya, Israel.
Kalau demikian konteksnya, maka kita akan memahami bahwa pesan dari perikop saat ini yaitu Allah ternyata masih tetap berkenan dan mengasihi bangsa Israel. Kasih dan perkenanan Allah tergambar dari kehadiran-Nya melalui Bait Allah yang akan dibangun, bukan Daud, tetapi Salomo, anaknya. Sebenarnya, 1 Tawarikh 29:1-9 dilatarbelakangi oleh kemelekkan (kesadaran) Daud atas ketidakseimbangan yang terjadi. Memang, Daud sudah mendirikan kemah yang kemudian dijadikan sebagai tempat bagi Tabut Allah. Mar tetap noh, rupa ada yang kurang. Ia pun langsung memanggil para pembesar Israel yaitu para kepala suku, para pemimpin rombongan orang-orang yang melayani raja, para kepala pasukan, serta para kepala harta benda kepunyaan raja dan anak-anaknya, para pegawai, perwira dan semua pahlawan yang gagah perkasa. Dan di hadapan mereka semua, Daud menyampaikan maksud yang telah lama dirindukannya, yaitu membangun rumah perhentian untuk tabut perjanjian Tuhan dan untuk tumpuan kaki Allah, yang berarti, di rumah inilah, simbol kehadiran Allah dinyatakan dalam kehidupan bangsa Israel sebagai umat pilihan-Nya. Makanya, persiapan yang dilakukan tidak main-main, sebab untuk Tuhan. Ada emas, perak, tembaga, besi, kayu, tetapi juga dari kepunyaan Daud sendiri.
Dengan menitikberatkan pada sosok Raja Daud yang sekalipun tidak dipilih Allah, tetapi tetap gencar dan sangat bersemangat membangun rumah Tuhan ini, sebenarnya menjadi semacam tamparan bagi kita sekalian. Bahkan di akhir-akhir riwayat hidupnya, ia mampu menjadi teladan tidak hanya segi nasionalisme kebangsaan, tetapi pun lebih-lebih terhadap kultus religiusitas yang tergambar dari sikap kerelaan hati untuk memberikan harta kekayaannya yang terkumpul selama masa hidupnya untuk pembangunan Bait Allah. Tidak tanggung-tanggung ia mempersembahkan apa yang ia punyai. Makanya, kembali ke pertanyaan di atas, mengapa? Mengapa Daud rela memberikan harta kepunyaannya sendiri?
Ingat kisah seorang kaya yang datang bertanya kepada Yesus? Kalau kita teliti, Yesus kan tidak pernah menyentil kekayaannya (baca = mammon). Apa yang Yesus pertanyakan yaitu kecintaan seorang kaya tersebut. Artinya, rasa kepemilikan yang utuh dan paripurna terhadap mammon. Itu berarti menjadi kaya atau punya banyak uang tidaklah bertolak belakang dengan iman Kristen. Silakan kumpul uang sebanyak-banyaknya, tetapi sanggupkah kita memberi respons ketika kita diperhadapkan pada pertanyaan dari Raja Daud ini: “Maka siapakah pada hari ini yang rela memberikan persembahan kepada Tuhan?” Beranikah kita langsung menjawab, “saya” tanpa harus berpikir dua atau tiga kali? Daud sanggup kok (para pembesar Israel ley), sebab ia telah mengetahui dan mengenali kepada siapa ia memberikan persembahan, yaitu Allah yang telah menyertai Daud dari masih anak-anak sampai akhir hidupnya dengan begitu sempurna.
Dari sini kita paham to, ternyata koten, pengenalan yang baik tentang Allah, melahirkan kerelaan hati yang sungguh untuk memberi bagi kerja pelayanan dan rumah Tuhan. Sebaliknya, munculnya perasaan sedih, duka, sungut, dan terpaksa ketika mempersembahkan persembahan kepada Allah, membuktikan bahwa kita belum mengenal dan mengalami Allah secara holistis. Beralih sedikit, bukankah hal ini semacam auto-kritik bagi Gereja dan kerja pelayanan untuk mampu memperkenalkan siapa Allah kepada mereka yang belum sungguh-sungguh mengenal Kepala Gereja ini? Bukankah demikianlah alasan dipanggil, dipilih, diperlengkapi, diutus?
Beberapa catatan aplikatif yang bisa direnungkan dari bagian saat ini yaitu bagaimana membentuk mentalitas memberi yang profetis (alkitabiah) yaitu persembahan bukanlah suatu paksaan atau theatrical belaka/panggung sandiwara, melainkan suatu kerelaan dan kesungguhan hati yang didasari oleh rasa cinta kepada Tuhan yang hanya bisa terbentuk ketika kita mengenal dan mengalami-Nya lewat iman. Tanpa itu semua, maka persembahan tersebut hanyalah sebatas rutinitas keagamaan, bahkan kemunafikan agamis yang terbungkus rapi dalam rupiah-rupiah. Kadang kala memberi supaya ingin dilihat orang, karena ingin dipuji. Hal ini menjadi fenomena yang sering terjadi di beberapa gereja modern saat ini, yaitu ketika memberikan sumbangan ataupun persembahan, dan namanya tidak terbacakan (padahal mungkin tidak disengaja) langsung maraju. Noh pi tunggu akang jo kalo dia mo se maaf. Makanya, hal selanjutnya yang tidak kalah penting ialah menanamkan sikap kerendahan hati. Seorang raja yang besar sekalipun, asi to mengakui ketidaksanggupannya di hadapan Tuhan. Akibatnya, Tuhan cukupkan dan sediakan. Namun lain ceritanya kalau kita berangkat dari sikap yang sombong dan selalu merasa punya segalanya.
Untuk itu, belajarlah dari Daud dan para pembesar Israel yang ada, yang memberi karena kecintaan dan kemelekatan mereka dengan kasih Allah. Angka-angka yang dirujuk oleh penulis Tawarikh tidak hanya semata-mata materi, tetapi menunjukkan margin atau ukuran yang mendorong kita untuk memaksimalkan hidup beriman ke arah yang benar. Memberilah bukan karena ingin dipuji, atau agar Tuhan memberkati kita (semacam gambling/tawar-menawar dengan Tuhan). Tetapi, memberilah karena Tuhan telah lebih dahulu mencukupkan kita dengan kasih-Nya. Memberilah karena kecintaan dan kerinduan yang universal (menyeluruh) kepada Tuhan. Bahkan masih dalam suasana pengucapan syukur yang sekiranya tidak mereduksi makna sejati dari ucapan syukur itu sendiri. Yang penting kwa birman lia so goyang belanga, ada ba asap tuh dapur. Bukan pada apa yang lahiriah, melainkan spirit/jiwa bersyukur yang mesti dikobarkan untuk selalu memberi yang terbaik sebab Tuhan lebih dahulu memberikan berkat-Nya. Bersyukurlah sebab Tuhan mengasihi kita sekalian dengan terus memberikan damai sejahtera, kesehatan, bahkan kehidupan itu sendiri. Semoga Tuhan melindungi kita sekalian. Amin.