MARKUS 7 : 24 – 30
(tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Dodoku GMIM , edisi April 2012)
TENTU tidak diragukan lagi, kisah Yesus adalah kisah Injil. Tetapi kisah Injil itu juga berkenan dengan kisah anak manusia. Ya, perjumpaan Yesus dengan orang-orang tertentu pada suatu masa. Kisah yang sungguh-sungguh menantang iman percaya. Nah, dari dalam kisah itu kita dapat belajar banyak hal.
Secara garis besar, kita membaca dalam kisah tadi mengenai Yesus yang datang ke suatu kota, masuk ke sebuah rumah. Atas kedatangan-Nya itu, Ia tidak mau diketahui orang banyak. Namun, seorang perempuan justru memperoleh informasi berharga soal kedatangan Tuhan. Ia lalu memohon kesembuhan anaknya. Trejadi dialog, sedikit perbedaan pendapat, dan ia “memenangkan” harapannya., anaknya sembuh.
Dari pembacaan ini kita memperoleh catatan renungan.
Pertama, tentang pelayanan Yesus sendiri. Pelayanan Yesus bukanlah bertujuan untuk sesuatu yang sensasional, mencari popularitas. Dikatakan, Ia tidak mau kedatangan-Nya diketahui orang banyak. Pekerjaan-Nya bukanlah untuk tujuan pamer. Inilah yang sering dilupakan orang, banyak dari kita gagal menangkap hal yang “inti” dari pekerjaan Yesus.
Pekerjaan Yesus, mujizat dan segala kesembuhan yang dilakukan-Nya, hendak memberitakan kerajaan Allah sudah tiba. Ini menjadi berita pengharapan, bahwa di dalam Dia tidak ada jalan buntu. Di dalam Dia, Allah menyediakan jalan keluar.
Di dalam Dia ada keselamatan dan hidup. Di dalam Dia ada kekuatan dan ketabahan. Sebagian orang pada masa itu, bahkan pada masa sekarang masih terperangkap pada “mujizat itu” bukan pada “siapa yang melakukan mujizat”.
Mereka suka pada hal yang berbau sensasi tapi tidak mau percaya kepada Yesus. Allah seperti ini akan ditanggapi demikian: “Ada uang abang saying, tidak ada uang abang melayang”. Mereka hanya mau melihat apa yang suka dilihat, bukan mau meilhat apa yang suka dilihat Tuhan. Merka haus sensasi, bukan perubahan dan pertobatan.
Hal kedua, cinta seorang Ibu. Hal ini agak spesifik dan barangkali bapak-bapak kurang setuju. Tapi memang Ibu sering dikaitkan dengan ketulusan, empatik dan kasih saying yang mendalam. Buktinya ada lagu “Kasih Ibu” bukannya “Kasih Bapak”, atau ada lagu “Doa Ibu”.
Bukan maksudnya membedakan secara tajam peran Ibu dan Bapak, sebab para bapak-pun memiliki cinta yang begitu besar kepada anak-anaknya. Mereka busa bermain, bercengkrama, berdiskusi, dengan anak-anak mereka. Mereka juga menunjukkan cinta dan kasih itu.
Namun di dalam kisah ini, kita menyaksikan betapa dorongan kasih seorang Ibu membuatnya dapat melakukan hal yang maksimal walaupun ditengah situasi yang minimal. Tidak dijelaskan di mana ayah anak itu, namun ia sungguh berbahagia memiliki seorang isteri yang benar-benar mengusahakan sesutau yang terbaik bagi anak-anaknya.
Bagi si Ibu, kesembuhan anak ini menjadi sesutau yang penting. Ia tidak bias berdiam diri. Kita dapat membayangkan bahwa selama ini ia telah berusaha ke sana kemari mencari kesembuhan. Ia juga terus merawat anaknya. Ia tidak lari dari tanggungjawab, ia berjuang. Ia bersikeras. Kekuatan apa yang mendorongnya, tak lain kekuatan kasih. Kekuatan cinta. Demikianlah “Kasih” menjadi tema akbar alkitab.
Di dalam 1 korintus 13, Paulus menyatakan dengan tegas bahwa apapun karunia yang kita miliki tetapi tidak dilandasi oleh kasih maka semuanya “kosong” belaka. Karunia berkata-kata dalam bahasa roh, karunia bernubuat, karunia memiliki pengetahuan, segala profesi yang kita tekuni (dokter, sopir, pegawai, karyawan, siswa/mahasiswa, ibu rumah tangga, pendeta, tukang, pengusaha), tanpa disertai kasih “tidak memiliki makna apa-apa bagi kerajaan Allah.
Jadi, dari kasih Ibu ini kita lihat ia mendapat informasi berharga dan diberkati Tuhan. Berikut yang terjadi dari kasih ibu ini adalah hal ketiga yang boleh kita renungkan. Si ibu terdorong “berpikir di luar kotak”. Ia bertindak cerdas dan kreatif. Ini juga menjadi pelajaran manajemen hidup. Bila kita perhatikan, si Ibu memiliki informs. Dari informsai itu, ia mengubahnya menjadi tindakan. Ia mau mengambil langkah awal. Ia dating pada alamat yang tepat. Tentu saja ini menandakan bahwa selama ini ia tidak putus harap. Ia tidak menyerah, ia tetap memiliki pengharapan bahwa hari ini lebih baik dari hari kemarin, hari esok lebih baik dari hari ini.
Kembali pada “berpikir di luar kotak”. Si Ibu tidak terperangkap pada kultur atau budaya yang mencengikam. Kotaknya adalah “cara pandang orang pada waktu itu. Ucapan Yesus dalam ayat 27: “”Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing”, mungkin terdengar begitu kasar bagi kita. Namun ungkapan ini merupakan tantangan bagi si perempuan.
Mewakili pandangan beragama yang dipegang banyak orang pada masa itu. Bahwa yang diselamatkan hanya keturunan Abraham. Mereka yang berada diluar garis Yahudi, bukan menjadi sasaran keselamatan. Yang satu digambarkan sebagai “manusia” yang lain “anjing”. Yang satu “orang “ yang lain “arang”. Eksklusivisme sempit ini sangat mengkotak-kotakan dan amat mudah menumbuhkan benih permusuhan.
Kalua saja ucapan yesus tadu di-iya-kan si Ibu, akhir ceritanya barangkali akan lain. Naun Yesus yang melihat kedalaman hati, tentu tahu kapasitas si Ibu. Dengan “menerobos” informasi yang terbatas, perempuan ini telah melangkah jauh. Ia tidak mau menyerah. Ia sederhana tapi gigih.
Ia tidak mau menyerah. Jawabnya: “benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatukan anak-anak”. Perhatikan : remah-remah adalah sisa-sisa. Bagi si Ibu, tidak soal, ia diberi stigma “anjing”, namun baginya selalu ada sisa-sisa yang bias dimakan. Ia tetap konsisten, selalu melihat yang baik dari yang buruk. Ia realistis tetapi berpengharapan.
Ia tidak panik dan tetap tenang menghadapi persoalan. Ia tidak hanya sekedar berpikir positif tetapi menunjukkan kekuatan imannya. Beberapa kali dalam peristiwa mujizat, Yesus berkata” “pergilah imanmu telah menyelamatkan engkau”. Jadi dia sungguh tahu dan percaya, Yesus dapat melakukan apapun, jia Ia berkehendak. Di dalam percaya itulah ia sungguh bergantung pada Tuhan.
Keempat, tentang rumah. Percakapan Yesus dengan perempuan ini terjadi di dalam sebuah rumah. Pastilah si yang empunya rumah telah mengundang Yesus untuk singgah di rumahnay. Rumah ini sungguh diberkati. Sudahkah rumah kita betul-betul menempatkan Yesus sebagai kepala, pemegang otoritas rumah kita?
Kalau sebuah rumah lebih banyak digunakan sebagai tempat yang tidak nyaman, orang-orang tidak bias saling berkomunikasi padahal itulah fungsi rumah. Rumah sekedar tempat “transit” atau terminal. Orang dating dan pergi, namun kehilangan komunikasi, kehangatan dan semangat kerukunan. Apa jadinya rumah kita? Karena itu, jadikanlah rumah kita istana, suasana yang membawa tentram sukacita dan damai sejahtera. Amin(dodokugmim/saratuwomea)