
Saudara-saudara yang diberkati Tuhan,
Kita tentu ingat peristiwa pahit yang terjadi sekitar 5 tahun lalu ketika babang Covid menyerang hampir setengah dari populasi dunia. Tak sedikit yang meninggal dunia, sedang lainnya harus tertekan menghadapi pilunya isolasi mandiri. Selain itu, beberapa usaha terpaksa ditutup sementara, sedangkan yang lain harus gulung tikar. Sekolah sempat ditutup. Bahkan gereja pun sempat ditutup. Semua proses interaksi dijalankan secara daring (dalam jaringan) demi memutus pandemi virus corona ini.
Hal pahit yang sama pun sempat terjadi di sini. Beberapa hari yang lalu, warga masyarakat diliputi kepanikan ketika angin kencang disertai hujan yang suangat deras melanda pulau Lembe. Beberapa warga jemaat dan masyarakat kemudian mesti mengungsi supaya terhindar dari bahaya longsor yang bisa terjadi kapan saja. Sementara yang lain mesti menelan kepahitan ketika atap rumah mereka terangkat/rusak karena angin kencang. Untungnya tidak ada korban jiwa, tetapi banjir serta kerusakan-kerusakan yang terjadi, tidak bisa dielakan memakan biaya perbaikan yang tidak sedikit.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Pengalaman hidup yang pahit seperti peristiwa corona dan bencana alam, seringkali mendorong kita untuk protes kepada Tuhan. Mengapa ini harus terjadi kepada saya? Mengapa saya mesti menderita? Apakah hidup memang semenyedihkan ini? Di manakah Tuhan? Tidurkah Engkau di sana? Sudah tidak pedulikah Engkau atas segala hal pahit yang terjadi di dunia ini? Dan berbagai bentuk protes lainnya atas kemelut hidup yang terjadi.
Ternyata, hal yang sama pun sedang dirasakan oleh jemaat yang disapa melalui Surat 1 Petrus ini. Mereka tengah menghadapi penganiayaan dan keterasingan. Namun, keterasingan yang dimaksud bukanlah jauh dari tanah air, melainkan keadaan tersingkirkan/terasing/dimusuhi oleh karena iman mereka. Mereka diasingkan sebab mereka menolak untuk bergabung dalam kultus penyembahan berhala. Makanya mereka menjadi sasaran penganiayaan, fitnahan, dan kebencian. Mereka dimusuhi, diadili, dihakimi, dan dikucilkan.
Nah, dalam situasi yang seperti inilah, penulis kemudian mau menghibur jemaat dengan memberikan mereka sosok teladan yang nantinya akan menopang/menolong/menuntun mereka dalam menghadapi polemik kehidupan jemaat maupun masyarakat yang sementara tertekan dan berbeban berat. Melalui hadirnya para pemimpin jemaat ini, mereka seakan ditampar bahwa Allah koten nda se biar pa dorang! Inilah inti dari bacaan kita, bahwa Allah ternyata peduli. Allah nda tidor. Allah nda tutup mata atas apa yang menimpa mereka.
Sampai sini torang so paham to duduk perkaranya bahwa teks ini sebenarnya hendak menampilkan bentuk kepedulian Allah atas gumul umat-Nya melalui hadirnya para pemimpin/pelayan/penatua yang berintegritas yang mampu jadi teladan, rendah hati, taat, jujur, dan setia! Makanya melalui bagian bacaan ini, penulis sebenarnya mo se inga ulang pa pemimpin jemaat tentang pentingnya peran mereka sebagai perpanjangan tangan Allah dalam menghadirkan/mewujudkan Syalom/Kerajaan Allah di tengah kehidupan umat yang sedang tertekan dan menderita!
Harapannya, dengan hadirnya para pemimpin jemaat, dorang boleh mo topang tu jemaat, bukan mo bekeng tambah menderita! Mo hibur pa jemaat, bukan mo bekeng tambah tersiksa! Mo tolong pa jemaat, bukan mo bekeng tambah susah! Mo kase hidup pa jemaat, bukan mo bekeng mati! Mo gembalakan ini jemaat, bukan mo se biar!
Itulah sebabnya, mereka secara tegas dinasehati agar dalam menggembalakan kawanan domba, mereka mesti sadar dan berjaga-jaga terhadap singa yang mengaum-ngaum (musuh/tantangan/pergumulan) supaya ini kawanan domba (jemaat) nyanda terperangkap dalam jerat Iblis. Yaitu jerat yang membuat jemaat jadi hedon, malas ibadah, baca firman, tidak disiplin waktu, dlsb. Supaya mereka semakin kuat iman dalam menghadapi beratnya tantangan kehidupan. Supaya mereka tetap memelihara iman.
Dan dalam menggembalakan domba, para pemimpin diajar untuk terus mampu menjadi teladan dengan hidup rendah hati bahkan rela berkorban sama seperti Yesus sang Gembala Agung yang menggembalakan domba-Nya, melindungi, menggendong, bahkan rela mati demi domba-domba-Nya. Ini merupakan langkah radikal yang hanya bisa dilakukan Yesus. Atau, adakah di antara para penatua, diaken, pendeta, atau guru agama, yang rela dicambuk, diludah, bahkan siap mati untuk jemaat? Nda mungkin lah…
Untuk itulah, bagian bacaan ini kemudian menyentakan, menampar, dan mengkuleto kita akan tugas panggilan pelayanan di era disrupsi ini. Yaitu era di mana telah terjadi begitu banyak pergeseran bahkan perubahan yang signifikan di bidang perindustrian. Kemajuan IPTEK yang pesat serta derasnya arus globalisasi, kemudian meningkatkan standar atau kualitas daya saing di dunia pekerjaan secara drastis. Akibatnya, terjadi yang namanya kesenjangan sosial dan ekonomi. Yang kaya makin kaya, sementara yang miskin makin miskin. Orang semakin peduli dengan dirinya sendiri. Individualistis, egoistik, hedonisitis, dan tis tis lainnya, akhirnya menjadi gaya hidup di zaman now bahkan sering merembes ke kehidupan berjemaat.
Disadari atau tidak, realitas hidup yang seperti itulah yang sementara merayapi kehidupan persekutuan kita. Banyak pemimpin yang belum, bahkan tidak bisa menjadi teladan bagi jemaatnya. Bertindak otoriter. Menyusahkan jemaat dengan mematokkan anggaran secara paksa. Malas menggembalakan domba. Dan berbagai realitas lainnya yang mencoreng citra sebagai perpanjangan tangan Tuhan dalam menghadirkan Kerajaan Allah. Alhasil, bukan Kerajaan Allah yang tercipta, melainkan kerajaan “kita” sendiri. Jemaat dibiarkan bergumul sendiri. Jemaat dibiarkan kelaparan. Jemaat dibiarkan kesusahan.
Maka berkaca melalui Firman hari ini, kita diajak untuk mempertimbangkan kembali bahkan merestorasi arti sesungguhnya panggilan pelayanan kita, tidak hanya pemimpin, tetapi kita pun sebagai warga jemaat untuk sama-sama bertransformasi baik secara iman maupun sosial dalam menjawab panggilan pelayanan yang hadir dalam berbagai macam model. Sudahkah kita sungguh-sungguh menggembalakan domba? Sudahkah kita menjadi teladan? Sudahkah dan sudikah hati kita mau merendah? Karena itu kunci utamanya! Selama hati kita masih tinggi, angkuh, dan sombong, maka selamanya jabatan penatua, diaken, pendeta, guru agama, hanya akan menjadi kamuflase di mimbar bahkan pintu gereja. Ya memang, kita tidak mesti radikal seperti Yesus yang memberikan nyawa bagi para domba. Tapi paling tidak, dengan memberikan seutuhnya kehidupan kita (waktu, tenaga, pikiran, hati, semuanya) dalam kerja pelayanan ini, kita sudah menggembalakan domba-domba-Nya. Tetaplah berproses dan tahanlah dalam kesukaran. Tuhan tetap memampukan kita dalam menggembalakan domba-domba-Nya. Amin.