DODOKUGMIM.COM, RAJA AMPAT – Kuatir, takut dan gugup. Tiga rasa ini berkecamuk di dada Pdt Yolanda Komimbing, S.Th , saat memikirkan apa yang akan hadapinya, di tempat pelayanan yang baru sebagai Tenaga Utusan Gereja (TUG) GMIM untuk Daerah Papua. “Saya benar-benar gugup, takut dan kuatir tentang apa yang akan saya jalani, hadapi di tempat pelayanan sebagai seorang TUG,” ujar dia, saat dihubungi dodokugmim.com, Kamis (5/9/2019).
Yolanda bercerita, oleh Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) GMIM, ia ditempatkan di GKI Elim Sawinggrai – Kapisawar, Distrik Meosmansar Raja Ampat, Papua Barat. Ia menjalankan tugas pelayanan ini bersama sang suami Toar Tambariki dan anak Faith Elkana Vikaristo Tambariki, sejak 18 September 2018.
Setiba di lokasi, rasa khawatir, takut dan cemas sirna. Yolanda disambut dengan sebuah perayaan meriah. Jemaat mengadakan Upacara Mansorandak. Upacara ini diselenggarakan untuk menyambut orang yang pertama kali menginjakkan kaki di daerah mereka.
Disaksikan puluhan orang, Yolanda dituntun Kepala Adat untuk menginjak piring. Selanjutnya kaki dan wajahnya dicuci. Lalu pada kepalanya dipakaikan “topi”, juga dikalungkan kalung khas Papua”. Kemudian seusai penyambutan, ia diantar ke tempat tinggalnya.
“Pastori yang saya tempati bersama suami, bukan Pastori yang lengkap dengan furniture, tidak ada kursi dan meja. Hanya beralasan bambu yang dianyam, yang dalam bahasa penduduk setempat disebut senat,” turut dia.
Jauh dari kesan nyaman. Tapi bukan itu yang membuatnya kaget. “Saya kaget, semua aktivitas seperti makan, menulis, dan lainnya tak pakai meja,” ujar dia yang kini sudah terbiasa duduk melantai dengan melipat kaki.
Tidak ada fasilitas kamar mandi dan wc di rumah, pada awal mereka menempati pastori. “Selama kurang lebih sebulan kami menggunakan kamar mandi dan wc umum,” ujar ibu satu anak ini.
Suasana gelap saat malam adalah hal biasa. Yolanda menuturkan, mereka hanya mengandalkan mesin disel milik pemerintah yang ongkos bensinnya ditanggung sendiri. “Uang bensin ditagih oleh anak-anak di setiap rumah warga. Kalau terkumpul maka kami akan menikmati listrik dari jam 8 hingga 11 malam,” tutur dia.
Bila dana yang terkumpul tak cukup, lanjutnya, maka ia pun harus melayani ibadah di malam hari dengan menggunakan senter. “Kami beribadah diterangi cahaya dari senter,” ucap dia.
Tak hanya itu. Yolanda harus membiasakan diri mengonsumsi air payau. “Sulit untuk mendapatkan air tawar apalagi bersih,” kata dia.
Hidup di Papua Barat ini, diakui Yolanda, mengajarinya banyak hal. “Membuat saya jadi berani dan kuat untuk mengatasi perasaan saya,” tegas dia.
Setiap hari, Yolanda bergumul dengan rasa takutnya terhadap ombak. Pasalnya, Sawinggrai – Kapisawar Distrik Meosmansar Kabupaten Raja Ampat adalah dua kampung yang berada di satu pulau. Ada 75 kepala keluarga yang menjadi anggota jemaat, terbagi di tiga kolom. “Semua aktivitas pelayanan harus dilakukan dengan perahu, karena rumah jemaat pada umumnya berada di atas air laut,” kata pendeta yang pernah melayani di GMIM Alfa Omega Rumengkor ini.
Beruntung ia selalu ditemani suami dan anaknya. “Kemana-mana selalu bertiga. Tapi sampai hari ini, saya masih tetap saja takut tenggelam. Berkali-kali kami menghadapi situasi buruk karena ombak, hujan dan angin kencang,” tuturnya.
Di tempat Yolanda melayani, tak ada pasar. Untuk belanja, ia harus ke Desa Waisai, Ibukota Kabupaten. Perjalanan ke Waisai ditempuh dengan perahu, selama dua jam dengan biaya perjalanan tidak murah. “Rp 400 ribu untuk beli bensin saja. Jadi setiap perjalanan harus dimanfaatkan dengan baik. Ketika harus ke Kantor Klasis untuk sentralisasi, kami lanjutkan dengan belanja ke pasar,” ungkap Yolanda.
Situasi tak mudah ini, lanjut dia, membuat banyak pendeta sebelumnya menyerah. “Saya pendeta pertama yang tinggal bersama jemaat. Meski keadaan di sini sulit, tapi saya merasa sangat disayangi oleh jemaat. Kasih mereka pada saya sangat menguatkan dan membuat saya tidak menyerah,” pungkasnya.(dodokugmim/joukeolivia)