TEMA:“Warta Sorgawi Damai di Bumi”
BACAAN ALKITAB: Lukas 2:8-20
Bapak, ibu, saudara yang dikasihi dan diberkati Tuhan Yesus Kristus,
Saya mau mengawali renungan Natal ini dengan sedikit bertanya, apa yang anda rasakan ketika mendengar ucapan ‘selamat Natal’? atau, apa yang anda rasakan ketika berjabat tangan dengan orang lain (bisa saja sesama jemaat anggota kolom dan sebagainya) kemudian anda mendengar ucapan ‘selamat hari Natal’?
Natal menjadi perayaan yang terlihat dan terkesan akbar dalam segala aspeknya, tapi menjadi pertanyaan bagi kita sekalian, dalam segala kemeriahan, hingar bingar pera-yaannya, apakah masih terasa suasana atau aroma damai yang ‘katanya’ menjadi hakikat Natal itu sendiri? Jangan-jangan kita telah menjadi umat yang setiap tahun mengulangi perayaan Natal ‘tanpa makna’’. Kita terbiasa berucap kata Syalom dan berbagai ucapan selamat, namun yang terjadi adalah apa yang ‘dinyanyikan’ oleh artis Broery Pesolima dulu, ‘lain di bibir lain di hati’.
Kita hidup di era dimana manusia semakin hari semakin kompetitif. Masing-masing kita terpacu dan termotivasi untuk meningkatkan taraf hidup, bersamaan dengan semakin majunya teknologi yang makin memudahkan hidup pada segala aspeknya. Anak-anak sekolahan/kampus misalnya, yang beberapa dekade lalu harus berjibaku masuk keluar perpustakaan hanya untuk mencari literatur referensi suatu topik pembelajaran, sekarang tinggal mengakses ‘Google’ lewat smartphone mereka dan semuanya selesai. Namun tidak sedikit yang terjebak mengakses situs-situs pornografi serta berbagai game online yang bermuara pada perubahan pola perilaku (seksual) dan juga meningkatnya perilaku seks bebas di mana-mana.
Arus kemajuan teknologi juga tanpa disadari membuat manusia semakin individualis. Sekalipun masih terlihat adanya interaksi sosial, namun semua itu sangat sarat kepentingan dan cenderung sementara. Fenomena ini kemudian memicu munculnya pribadi-pribadi yang stress, kehilangan pengharapan dan juga kasih.
Para gembala dalam bagian pembacaan kita saat ini mewakili kelompok umat yang dirundung berbagai persoalan hidup. Adakah kelompok masyarakat ‘kelas dua’, kaum marginal yang biasanya tinggal di luar benteng kota, hidup berdekatan dengan para penyandang kusta dan hidup menderita.
Kepada mereka-lah “kabar baik” (euanggelion) diberitakan. Kabar Baik yang mana? Kabar Baik bahwa telah lahir Juruselamat. Juruselamat untuk para gembala itu, untuk saya, untuk saudara sekalian dan bagi semua yang percaya kepada-Nya.
Pertanyaan sekarang, dalam hal bagaimanakah Yesus Kristus dikatakan menjadi Juruselamat bagi kita sekalian? Dalam hal bagaimanakah berita kelahiran-Nya dapat dika-takan menjadi ‘berita damai’ bagi dunia?
Menjawab pertanyaan ini, harus diakui telah terjadi ‘mispersepsi’ atau banyak yang kurang tepat memahami pengertian Yesus sebagai ‘Juruselamat’. Tidak sedikit umat yang memahami dan berpikir bahwa kedatangan Yesus baru ‘bermakna’ ketika penyaliban, kematian dan kebangkitan Yesus terjadi. Sangat kurang upaya untuk memahami bahwa kedatangan “Sang Raja Damai” adalah untuk ”meneladankan” jalan kehidupan yang dikehendaki dan berkenan kepada Allah.
Sedikit orang memahami bahwa damai itu bisa terjadi ketika manusia melakukan ajaran-ajaran dan teladan Yesus seperti tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, membayar pajak kepada Kaisar, mengampuni, mengasihi dan berdoa bagi musuh-musuh dan orang-orang yang meng-aniaya, berbuat baik kepada orang yang membenci dan lain sebagainya. Padahal dalam interaksi kehidupan sehari-hari kita berhadapan langsung dan bahkan menjadi faktor penentu dari positif atau negatifnya sebuah atau beberapa fenomena sosial.
Kabar sukacita yang sebenarnya bukanlah hanya ketika Yesus mati menebus segala dosa saya dan saudara-saudara. Melainkan bahwa semua orang percaya, diajak untuk mengikuti semua ajaran dan teladan Kristus, itulah warta sorgawi bagi kita di masa sekarang ini. Natal yang seharusnya merupakan momentum penuh sukacita dan kedamaian berbalik menjadi ‘momok’ yang menakutkan. Setiap orang seperti menghadapi kompetisi yang tahun demi tahun tensitasnya makin meninggi. Perlombaan penampilan di sana-sini semakin tak terkendali. Makin banyak orang yang justru stress menjelang Natal. Banyak rumah tangga yang menjadi tegang dan renggang karena “persiapan”Natal dan Tahun Baru. Dan seiring berjalannya waktu, kita semakin jauh dari esensi Natal yang hakiki. Itukah makna kesukaan Natal? Mari kita renungkan. Itukah arti ketika malaikat berkata “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”
Akankah kita memaknai perayaan Natal tahun ini dengan berlomba memuaskan hawa nafsu kita? Akankah kita mengulangi kembali ‘kebohongan’ dan ‘kamuflase’ damai yang telah sekian lama kita praktekkan? Ingatlah, Allah dimuliakan bukan dengan jutaan anggaran kita untuk merayakan Natal, tapi oleh pola hidup dan tindakan kita yang berkenan kepada-Nya. Selamat natal saudaraku, selamat menikmati dan mewujudkan damai di bumi. Amin.