SOBAT obor, barangkali kita pernah mengalami rasa takut ketika masuk sekolah. Ada figur ibu guru yang disiplin, tegas, suaranya nyaring dan sikapnya keras. Ia tidak segan memberi hukuman bagi siswa yang salah. Perasaan takut seringkali disebabkan rasa bodoh di dalam diri sendiri. Rasa takut kepada ibu guru sama sekali tidak mengandung sikap ingin menjauhi melainkan memerlukan. Makin hari ada perasaan bahwa ibu guru sangat peduli bahkan menolong saat menghadapi ujian akhir. Kita takut berhadapan dengan ibu guru yang kiler itu. Takut dalam arti ngeri, kemudian berkembang menjadi takut dalam arti hormat, di mana ada rasa penuh hormat kepadanya. Karakter ibu guru tersebut mengajar kita untuk hidup disiplin, rajin belajar, selalu berusaha dan berwibawa.
Bisa jadi perasaan mendua ini sama seperti yang disampaikan nabi Yesaya yakni di satu sisi ada perasaan takut akan Tuhan, di sisi lain ada rasa percaya. Takut akan Tuhan adalah sumber kehidupan dan didikan yang mendatangkan hikmat. Itulah reaksi ketika seseorang berhadapan dengan Tuhan, sikap ini membuahkan hubungan yang baik atau percaya kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Perasaan ganda ini agaknya dialami nabi Yesaya, ketika ia bertanya siapakah yang takut akan Tuhan dan mendengarkan suara hamba-Nya? Ini menunjuk takut bukan dalam arti gentar, melainkan juga percaya, hormat dan takjub. Karena itu, takut akan Tuhan dapat dibaca sebagai hormat dan percaya kepada Tuhan. Nabi Yesaya mengingatkan umat agar kembali ke jalan-Nya melalui takut akan Tuhan, tidak hidup dalam kegelapan dosa. Konsekuensi mereka hidup dalam dosa yakni tidak ada cahaya yang bersinar dalam hidupnya. Nabi Yesaya sebagai hamba Tuhan hidup dalam terang di tengah bangsa-bangsa. Ia menjadi teladan dalam bertutur kata dan perbuatan hidup. Karena itu, di minggu sengsara ini kita menghayati bahwa Tuhan sebagai sumber kehidupan dan hikmat yang akan bercahaya dalam kehidupan kita kini dan sampai Maranatha. Amin (NAH)