SOBAT obor, fenomena dewasa ini yang cukup memprihatinkan kita adalah tindakan yang saling mengejek, saling menghina, dan saling mengolok-olok di media sosial. Berbagai gelar dan julukan yang buruk
pun mudah terucap, baik melalui lisan atau melalui jari-jemari komentar di media sosial. “Mengolok-olok” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna mempermainkan dengan perkataan (seperti mengejek). Kata dasarnya “olok” atau diulang menjadi “olok-olok” yang diartikan sebagai perkataan yang mengandung sindirin (ejekan, lelucon) atau perkataan untuk bermain-main saja; kelakar atau senda gurau.
Disaat Yesus menjalani Via Dolorosa, ada nilai-nilai kemanusiaan yang dikoyakkan. Bahwa manusia telah kehilangan kemanusiaannya terhadap sesamanya. Disaat ada yang mengalami penderitaan, seharusnya yang lain ikut menolong meringankan beban. Namun dikisah Yesus sebaliknya, Yesus yang sudah menderita, malah diperlakukan dengan begitu sadis oleh para serdadu wali negeri. Menanggalkan pakaian-Nya, menaruh sebuah makhota duri diatas kepala dan memberikan sebatang buluh ditangan kanan Yesus adalah bentuk olokan bagi Sang Mesias. Dan tidak hanya berhenti disitu, Yesus pun diludahi dan dipukul. Salam yang diucapkan para serdadu untuk Yesus pun bernada olokan, yang beranggapan seorang yang disebut raja namun akhir hidupnya disia-siakan.
Sobat obor, Indonesia yang katanya bangsa berbudaya, memiliki nilai-nilai kesantunan dan kesopanan namun di dalam perkembangannya suka mengolokolok sesama. Lihatlah bagaimana cara kita bermedia sosial. Kebiasaan mengolokolok ini rupanya telah menjadi tradisi bahkan mengakar menjadi sebuah penyakit yang menghinggapi warganet. Ironinya, bahkan telah menjadi semacam metode paling umum dalam dunia lawak agar audiens menjadi tertawa dan terhibur. Sebagai kaum muda gereja, Tuhan menginginkan kita agar menggunakan jari dalam bermedia sosial bukan untuk mengolok sesama, tapi untuk membagikan berita baik, sukacita dan optimisme bagi semua orang. Amin. (BFP)