DODOKUGMIM.Jemaat Yang dikasihi TUHAN
Tidak ada seorangpun di dunia ini yang tidak memiliki relasi dengan orang lain, entah itu terjadi dalam kehidupan pekerjaan atau usaha, dalam relasinya dengan orang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah masyarakat, juga dalam tanggungjawab di Gereja ataupun dalam kehidupan berkeluarga. Pasti semua orang memiliki relasi, keterhubungan, pertalian dengan orang lain. Walaupun memang dalam realitanya terkadang ada relasi yang terbangun dengan baik tetapi ada pula relasi yang agak renggang bahkan tidak bahagia dan tidak baik.
Saudaraku, tentu saja dalam menjalin suatu hubungan atau relasi dengan siapapun itu kita pasti menghendaki agar hubungan itu terjaga & terpelihara dengan baik dan kita tidak menghendaki yang sebaliknya. Demikian pulalah yang diinginkan Paulus dalam hubungannya dengan Epafras sebagai muridnya yang mendirikan jemaat di Kolose. Walaupun Paulus tidak mendirikannya secara langsung tetapi mempunyai keterhubungan dengan pelayanan muridnya. Terlebih ketika Paulus berjumpa dengan seorang budak yang bernama Onesimus sehingga terjalin hubungan dengan Onesimus dan Paulus menasehati Onesimus untuk kembali kepada tuannya Filemon yang bukan secara kebetulan adalah orang Kolose yang kemudian dipercaya bahwa Surat untuk Filemon diperkirakan bersamaan waktunya dengan Surat Kolose ini. Dari surat-surat itulah kita melihat bahwa Paulus selalu memiliki kerinduan untuk terus menasehati dan terus mengingatkan orang-orang Kristen agar tetap hidup dalam kehendak TUHAN. Hal ini dilakukan tentu karena ia mengasihi jemaat-jemaat dan ini tentu terjadi karena Paulus mempunyai hubungan, mempunyai relasi, pertalian dengan jemaat-jemaat atau pribadi-pribadi yang dimaksud.
Jemaat yang diberkati TUHAN
Melalui bacaan ini kita melihat bagaimana Paulus menasehati, mengingatkan orang-orang Kristen di Kolose untuk melihat bahwa betapa pentingnya suatu hubungan antar sesama dalam hidup ini dengan berdasar kepada TUHAN. Paulus meyakini bahwa tanpa hubungan/relasi yang baik dengan TUHAN maka manusia tidak dapat membangun hubungan/relasi yang baik dengan sesamanya. Dengan demikian kita dapat mengatakan seperti ini jika hubungan kita dengan sesama buruk itu berarti menjadi tanda bahwa hubungan kita dengan TUHAN juga buruk.
Lewat bacaan ini Paulus memulai dengan melihat kehidupan keluarga, antara suami-isteri kemudian antara anak-anak dan orangtua dan barulah hubungan/relasi antara tuan dan hamba. Mengapa? Karena kita tahu bersama bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat dan juga kita pahami segala sesuatu dimulai dari keluarga kita masing-masing, karena seperti pepatah bijak mengatakan kita tidak akan pernah dapat mengubah dunia jika kita tidak memulai dari keluarga kita sendiri.
Saudaraku yang diberkati TUHAN, tentu Paulus dalam hal ini mempunyai harapan terhadap orang-orang percaya di Kolose untuk menunjukkan hidup beriman yang berbeda sehingga dengan demikian disegani, dan dihormati oleh orang-orang yang belum percaya kepada Kristus bahkan tentu dapat membuat mereka yang belum percaya menjadi percaya.
Untuk itu Paulus memulai dengan ay. 18 agar setiap Istri tunduk kepada suami sebagaimana seharusnya di dalam TUHAN. Apa arti kata tunduk? Paulus menggunakan kata ὑποτάσσω hupotasso yang dapat diartikan penaklukan diri secara sukarela. Ini tidak berarti bahwa perempuan lebih rendah, lebih inferior dari laki-laki tetapi dalam hal ini Paulus lebih menekankan sesuatu yang bersifat Kristologis. Alasan isteri tunduk kepada suami “karena demikian seharusnya dalam TUHAN”. Paulus sedang menunjuk pada suatu tatanan hierarki ilahi, dimana peran istri berada di bawah peran suami (band. Ef. 5:23-24), yang menyatakan bahwa suami adalah kepala isteri, sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Hierarki ilahi ini tidak memiliki konotasi gender, tetapi peran perempuan sebagai istri. Ingat bahwa istri tunduk kepada suami bukan perempuan tunduk kepada laki-laki. Istri tunduk kepada suami karena keduanya terikat dalam satu persekutuan dalam Kristus. Dengan demikian kita memahami bahwa selama hubungan suami istri masih ada dalam persekutuan dalam TUHAN maka sang istri tunduk kepada suami dan kalau tidak maka ia dapat menolaknya. Kok bisa istri menolak tunduk kepada suami? Bisalah kalau sang suami mengajak melakukan kejahatan, sang istri dalam hal ini dapat tidak tunduk kepada suami.
Hal kedua yang diingatkan Paulus dalam hubungan keluarga adalah suami harus mengasihi istri dan jangan berlaku kasar terhadap dia (ay. 19) Kita melihat Paulus menggunakan kata kerja mengasihi yang berarti kasih bukan hanya soal pengenalan/pemahaman dan perasaan semata tapi kasih adalah suatu tindakan nyata. Penggunaan kata ἀγαπάω agapao dilanjutkan dengan kata πικραίνω pikraino yang berarti kalau mengasihi jangan hanya tahu tentang kasih tetapi harus dinyatakan dalam tindakan dengan tidak berlaku kasar. Ungkapan kata πικραίνω pikraino ini dapat juga diartikan secara aktif jangan ‘membuat sedih’ atau ‘menyakiti hati’. Kalau demikian saat suami mengasihi maka ada tanggungjawab untuk tidak membuat sedih dan tidak menyakiti hati atau membuat kepahitan dalam hati sang istri. Sedangkan secara pasif kata ini dapat diartikan ditusuk, disakiti, sehingga apabila sang suami tidak mengasihi istri maka ia akan menerima balasan dari sang istri yang tidak tunduk atau berpura-pura tunduk kepadanya jadi secara pasif sang suami ditusuk dan disakiti juga oleh sang istri. Dengan demikian relasi isteri dan suami dalam tunduk dan mengasihi dalam terang Kristus akan menghadirkan sukacita karena tidak ada kepura-puraan sekaligus menghadirkan damai sejahtera dalam kasih yang sesungguhnya sebagai satu persekutuan dalam Kristus.
Hal Ketiga dan Keempat adalah relasi/hubungan antara orangtua dan anak-anak (ayat 20-21). Anak-anak diharuskan untuk menaati orangtua dalam segala hal dan bapa-bapa jangan menyakiti hati anak-anak sehingga hati mereka tidak menjadi tawar. Anak-anak menaati orangtuanya bukanlah suatu pengekangan untuk setiap aktifitas mereka tapi lebih daripada itu adalah suatu upaya untuk melatih anak-anak meraih masa depan mereka dalam proses dan bukan banyak protes. Karena itu setiap didikan, pengajaran dan penghukuman dari orangtua adalah bentuk proses meraih keberhasilan. Tentu dengan catatan bahwa bapa-bapa dalam proses ini tidak membuat anak-anak menjadi sedih dan tawar hati (Yun. ἀθυμέω athumeo). Kata ἀθυμέω athumeo juga merujuk kepada gagalnya orangtua menjadi contoh bagi anak-anaknya. Hal ini tentu mengingatkan orangtua bahwa ketaatan anak-anak menjadikan orangtua harus terus menjaga sikap hidupnya yang benar dihadapan TUHAN, agar anak-anak meneladaninya.
Hal yang kelima hubungan antara hamba dan majikan (ayat. 22 & 4:1)
Seorang hamba yang bekerja haruslah melakukan segala pekerjaannya dengan tulus hati ἁπλότης καρδία haplotes kardia dan bukan hanya dihadapan tuannya atau mencari muka kepada tuannya. Kalau ada majikannya rajin kalau tidak maka bermalas-malasan. Paulus mengingatkan bahwa bekerja dengan ketulusan hati adalah bukti hidup takut akan TUHAN. Dan karenanya tuan-tuan harus berlaku adil dan jujur terhadap hamba-hambanya, diantaranya tentu saja tidak menahan atau tidak memberikan upah kepada hamba-hamba adalah bentuk ketidakjujuran dan ketidakadilan dan yang penting diingat bahwa tuan di bumi juga punya tuan di surga yaitu Kristus. Sehingga ketidakjujuran dan ketidakadilan tuan di bumi akan mendapat penghukumannya melalui tuan di sorga. Ini memberikan kita motivasi untuk bekerja dengan tulus hati apapun yang kita kerjakan, apapun pekerjaan yang TUHAN beri bagi kita. Ketulusan hati membawa kita bekerja dengan jujur dan ulet bukan karena ada yang melihat kita bekerja tapi karena kita bekerja dalam TUHAN sehingga apapun yang kita kerjakan adalah bentuk kesaksian kita bagi orang lain. Sekaligus juga kita diingatkan untuk berlaku jujur dan adil saat kita menjadi tuan, pemimpin di tengah-tengah tugas kerja kita. Jangan pernah menahan, merampas atau meniadakan apa yang menjadi hak orang lain yang bekerja bersama dengan kita. Ingat kita masih punya tuan di sorga yang akan mengadili kita yang tidak adil dan jujur di dunia.
Akhirnya saudara-saudara ingatlah dalam pasal 3:23 ungkapan ini “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk TUHAN dan bukan untuk manusia” Apapun yang kita kerjakan hanya untuk TUHAN bukan untuk menunjukkan siapa kita. Memang tidaklah mudah karena itu dalam bagian yang lain di pasal 4:2 memberikan motivasi bagi kita untuk terus bertekun dalam doa, berjaga-jaga dan selalu mengucap syukur. Dalam doa kita tahu bahwa kita bukanlah siapa-siapa dihadapan TUHAN, berjaga-jaga membuat kita tetap sadar dan mawas diri agar selalu sedia saat kedatangan TUHAN yang keduakali dan mengucap syukur menjadikan kita sebagai pribadi yang menerima semua yang TUHAN sediakan sebagai berkat dalam kehidupan kita. Amin.