Oleh : Joshua Umboh, S.Th
DODOKUGMIM.COM – Suasana riuh nampak jelas di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang STFT Jakarta), 21-28 Mei 1950. Sebanyak 30 Perwakilan Gereja di Indonesia nampak hadir dan membulatkan tekad membentuk Gereja Kristen Yang Esa. Di tengah perayaan Hari Pentakosta, segala ungkapan syukur tumpah ruah menyambut Manifest Pembentukan Dewan Gereja di Indonesia. Pada saat itu, secara sadar dan sengaja bersama-sama mencanangkan sebuah tekad untuk pembentukan gereja yang esa di Indonesia. Tekad itu tidak sekedar mereka tulis diatas kertas, namun dituangkan melalui sebuah wadah usaha bersama yang diberi nama “Dewan Gereja-gereja di Indonesia” (DGI). Sejak lahirnya, DGI merupakan wadah dari gereja-gereja di Indonesia dengan satu sasaran tujuan yaitu Pembentukan Gereja kristen yang esa di Indonesia.
70 tahun berlalu, Dewan Gereja di Indonesia berganti nama menjadi Persekutuan Gereja di Indonesia saat ditetapkan dalam Sidang Raya X DGI 1984 di Ambon. Perubahan dari Dewan ke Persekutuan mengandung unsur bahwa Persekutuan lebih menujukkan keterikatan lahir-batin antar gereja-gereja dalam proses keesaan gereja-gereja. Hal ini juga berdampak pada tujuan Persekutuan gereja-gereja di Indonesia yang awalnya disebut ‘membentuk’ gereja kristen yang esa berubah menjadi ‘mewujudkan’ gereja kristen yang esa di Indonesia sebagaimana tertulis dalam Tata Dasar Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia.
70 tahun berlalu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang terus berusaha menjadi wadah gereja-gereja di seluruh persada bunda pertiwi, diperhadapkan dalam pusaran zaman yang kian tak ubahnya menantang moral manusia kekinian. Di tengah perkembangan revolusi industri, tidak boleh tidak bahwa keberadaan Gereja yang dipanggil dan yang di tempatkan di tengah-tengah dunia untuk hidup dan berkembang haruslah turut membaharui diri. Perkembangan Gereja di sini haruslah juga dilihat dari segi kualitas tidak serta merta hanya dari segi kuantitas.
70 tahun berlalu, tanggung jawab kepelayanan itu adalah tanggung jawab kita bersama. Gereja dapat dikatakan hidup apabila dapat menunaikan tugas Gereja. Ukuran keberhasilan suatu Gereja tidaklah dilihat dari seberapa banyak kegiatan gereja itu sendiri, tetapi dari keterlibatan anggota Gereja dalam pelayanan Gereja dan pertumbuhan iman yang dialami oleh gereja.
70 tahun berlalu, perayaan hari besar kali ini tidak dilakukan secara monumental atau simbolis, sebagaimana tertuang dalam Pesan Bulan Oikoumene yang dikeluarkan oleh Majelis Pekerja Harian PGI, bahwa selebrasi diselenggarakan dalam bentuk perayaan kehidupan sebagai Tubuh dan Sahabat Kristus. Pandemi Covid-19 telah menyediakan sebuah panggung perayaan bagi Gereja-Gereja di Indonesia agar dapat merayakan kehidupan dengan serius sebagai bukti bahwa kita sungguh bertolong-tolongan menanggung beban kita bersama.
Di era Covid-19 ini, kasih Allah malahan makin diteriakkan begitu lantang. Pada momentum inilah gereja ditantang untuk menunjukkan jati diri sebagai gereja yang satu. Tema ‘Satu Tubuh Satu Beban : Jadilah Sahabat di Masa Susah dan Senang’ membalut perayaan syukur Yubileum 70 tahun PGI. Sehingga, kehadiran gereja di segala situasi makin memupuk semangat beroikoumene sebagaimana surat Paulus dalam Galatia 6:2, ‘Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus’.
Gerakan Oikoumene sebagai arak-arakan orang beriman menuju pada kesadaran bersama dalam tubuh Kristus. Secara bersama menghadapi berbagai tantangan di dunia ini dan untuk itulah Gereja hadir. Dalam pergumulan dunia yang marak tantangan dari sesama dan alam, gereja ditantang untuk mampu menunjukkan identitasnya sebagai pembawa damai serta mampu mengatasi masalah-masalah yang di dunia ini. Banyak problematika permasalahan sosial yang menuntut gereja untuk buka suara serta buka hati memberi jalan keluar. Seperti yang disebutkan tadi, Covid-19 menyediakan panggung untuk merayakan tugas dan panggilan gereja di oikoumene (rumah bersama) ini.
Bahtera yang kita naiki bersama ini adalah iring-iringan orang yang percaya dan mau saling bertolong-tolongan. Gerakan Oikoumene adalah bukti perwujudan dari Keesaan kita sebagai Gereja yang ditempatkan Allah berkarya dan menyatakan kemuliaan-Nya di dunia ini. Apa yang dituntut dalam gerakan Oikoumene ini adalah kesadaran akan keesaan yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia.
Gereja Masehi Injili di Minahasa tetap menampakkan diri sebagai yang Oikoumenis dalam segala masa. Meskipun pada pelayarannya sebagai sebuah bahtera bersama, justru para penumpang yang lain tidak tahu ada di lautan mana kita sekarang.
70 tahun berlalu, gerakan oikoumene adalah gerakan semesta yang menuntut kesadaran bersama bahwa yang perlukan bukan melulu pada perselisihan dan larut dalam amarah. Melainkan merayakan hidup bersama-sama sebagai ungkapan syukur bahtera ini terus berlayar.
70 tahun berlalu, jangan sampai bahtera ini hanya menetap di pelabuhan Salemba 10, tapi arahkanlah bahtera ini sampai ke seluruh peradaban.
70 tahun berlalu, dan tahun-tahun yang gilang gemilang menanti kita pelabuhan yang telah ditetapkan Allah.Selamat merayakan hidup, Gereja Tuhan !(dodokugmim/nj)