Kisah tentang orang Samaria yang diceritakan Yesus berawal dengan pertanyaan seorang ahli taurat. Ahli taurat adalah orang – orang yang memiliki pengetahuan yang luas, pandai menafsirkan hukum taurat dan dalam beberapa kesempatan berdebat dengan Yesus. Orang Farisi dan imam kepala mempekerjakan ahli taurat semacam penasihat hukum mereka. Para ahli taurat melihat Yesus sebagai ancaman bagi tegaknya hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Romawi termasuk pelaksanaan hukum taurat dan hukum adat lainnya. Yesus menjadi ancaman juga bagi keberadaan para ahli taurat. Karena Yesus dianggap ancaman maka para ahli taurat, ingin mencobai Yesus dengan pertanyaan. Penulis Injil Lukas jelas mengungkapkan di ayat 25a “Pada suatu kali berdirilah seorang ahli taurat untuk mencobai Yesus”. Berarti pertanyaan yang diajukan bukan untuk mendapatkan jawaban, bukan atas dasar ketidaktahuan melainkan untuk mencobai. Pada umumnya pertanyaan diajukan, untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang sesuatu yang belum dimengerti. Pertanyaan ahli taurat kali ini, bukan untuk mendapatkan kejelasan, melainkan untuk mencari celah, jika Yesus keliru sepertinya menjelaskan, maka dia mendapatkan alasan yang tepat untuk menyudutkan Yesus. Hati – hati dengan orang yang bermental seperti, mengajukan pertanyaan dengan motivasi tersembunyi, untuk mencari – cari kesalahan orang lain.
Sebenarnya apa pertanyaannya?? Ayat 25b melanjutkan “katanya : Guru apa yang harus ku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”. Keyakinan tentang hidup kekal sudah dimiliki oleh masyarakat waktu itu, yaitu bahwa siapa yang percaya kepadaNya akan memperoleh hidup yang kekal. Tetapi ada kaum Saduki yang tidak menerimanya dengan alasan hal itu tidak disebutkan secara jelas dalam hukum taurat. Yesus mengetahui motivasi di balik pertanyaan itu. Ayat 26 “Jawab Yesus kepadanya : apa yang tertulis dalam hukum taurat? Apa yang kau baca disana?”. Yesus tidak marah, Dia tidak menghindar dari dialog itu, walau Dia tahu pertanyaan itu hanya untuk mencobai Dia. Kebijaksanaan Yesus tampak jelas, ketika Dia tidak menjawab pertanyaan dengan pernyataan melainkan menggunakan pertanyaan lagi. Dengan pertanyaan itu Yesus menggiring ahli taurat ini untuk menjawab sendiri pertanyaan yang dia ajukan. Ahli taurat ini menjawab di ayat 27 “Jawab orang itu : kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu dan kasihilan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Ahli taurat ini memang mengetahui secara detail, sehingga pernyataannya itu dinyatakan benar oleh Yesus, seperti perkataan Yesus di ayat 28 “Kata Yesus kepadanya: jawabmu itu benar, perbuatlah demikian maka engkau akan hidup”. Walau ternyata orang ini mempunyani niat yang kurang baik, tetapi Yesus tetap memberi apresiasi, atas kebenaran dari jawabannya. Kadangkala ketika kita menemukan seseorang pernah melakukan kesalahan dan suatu saat dia dapat menjawab sesuatu dengan benar. Sepertinya kita tidak rela memberi apresiasi lebih, karena kesalahan yang pernah diperbuatnya itu. Belajarlah dari Yesus yang mengakui bahwa jawaban ahli taurat itu benar. Ketika sudah mengetahui, maka ada perintah perbuatlah, lakukanlah. Jangan hanya bertahan dalam pemahaman dan tidak pernah terwujud dalam tindakan.
Sebenarnya masalah sudah selesai karena pertanyaan sudah menemukan jawabannya. Apalagi yang kurang?? Secara jelas ayat 29 memberi keterangan ini “Tetapi untuk membenarkan dirinya, orang itu berkata kepada Yesus : dan siapakah sesamaku manusia?”. Orang ini sepertinya tidak puas, dia tidak dapat mencobai Yesus dengan pertanyaan pertama, karena dia menjawab sendiri pertanyaannya. Untuk membenarkan dirinya maka diajukanlah pertanyaan tentang siapakah sesamaku manusia. Pertanyaan ini dijawab Yesus dengan metode yang lain. Kalau sebelumnya, Yesus menjawab pertanyaan dengan pertanyaan maka sekarang Yesus menjawab dengan sebuah kisah yang dituturkannya mulai ayat 30 – 34.
Ayat 30 memulai kisah itu dengan kalimat “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho, ia jatuh ke tangan penyamun – penyamun yang bukan saja merampoknya habis – habisan tetapi yang juga memukulnya dan sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati”. Yerikho terletak 26 kilometer di timur laut Yerusalem, sekitar 240 meter di bawah permukaan laut. Karena Yerusalem berada di ketinggian 760 meter di atas permukaan laut, orang harus “turun” menuju Yerikho. Dalam perjalanan untuk turun itu, orang ini bertemu dengan penyamun. Penyamun adalah istilah yang dipergunakan untuk perampok, perampas, begal. Orang – orang jahat ini, merampok semua harta miliknya, memukulnya, melukainya sampai hampir mati. Dalam keadaan yang demikian, orang ini butuh penanganan yang serius, supaya dapat segera menyelamatkan nyawanya. Mungkin dalam hatinya dia berharap semoga ada yang lewat dan dapat segera menolognya. Siapa yang pertama kali turun di jalan itu?? ayat 31 “ada seorang imam turun melalui jalan itu, ia melihat orang itu dan ia melewatinya dari seberang jalan”. Mungkin orang itu memiliki harapan besar pada imam yang lewat itu, mungkin saja dia dapat menolong, apalagi dia seorang yang bekerja di Bait Allah tetapi harapan ternyata berbeda dengan kenyataan. Orang kedua yang lewat siapa?? Ayat 32 “Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu, ketika ia melihat orang itu dia melewatinya dari seberang jalan”. Hal yang sama dilakukan yaitu melewatinya dari seberang jalan. Sedangkan untuk mendekati saja, mereka tidak mau. Mengapa?? Imam dan orang Lewi ini mengetahui bahwa menurut hukum taurat, menyentuh jenazah atau darah orang yang terluka akan membuatnya najis. Mereka tidak boleh bertugas dalam keadaan najis. Di saat ada orang yang membutuhkan untuk segera ditolong, yang iman dan orang Lewi ini utamakan adalah kesucian diri mereka untuk melakukan pelayanan di Bait Allah. Mereka lupa bahwa mengasihi Tuhan, harus diwujudnyatakan dengan mengasihi sesama. Mereka memang tidak najis karena tidak menyentuh orang yang luka itu dan layak untuk melayani, tetapi mereka telah mengabaikan perintah yang utama. Ada skala prioritas yang harus diutamakan di situasi itu, yaitu orang itu harus mendapatkan pertolongan. Imam dan orang Lewi yang dikenal, karena bertugas di Bait Allah, orang – orang melayani Tuhan, ternyata dikisah ini, menjadi orang – orang yang mengabaikan kasih sebagai perintah Tuhan yang utama. Jangan sampai kita terlalu sibuk melayani Tuhan, terlibat dalam kegiatan seremonial, secara lantang berkhotbah dimana – mana sehingga membuat orang terpukau, tetapi ternyata didapati kita adalah orang – orang yang mengabaikan kasih. Ada orang yang malah terluka, kecewa, merasa dibiarkan karena sikap kita.
Adakah orang yang datang menolong? Keterangan jelasnya ada di ayat 33 – 35 “Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu, dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka – lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri, lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya : rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya waktu aku kembali”. Ternyata yang tergerak hati oleh belas kasihan, untuk membalut luka, menyirami dengan anggur dan minyak, sesuai kebiasaan waktu itu sebagai cara untuk mempercepat penyembuhan luka, membawa orang itu ke penginapan dan rela mengeluarkan uang sebanyak 2 dinar pada pemilik penginapan demi perawatan orang itu. Orang yang tidak dikenal, yang menolong tanpa pamrih. Adakah kita seperti orang Samaria ini? atau kita hanya mau menolong, mengulurkan tangan jika perbuatan itu mendatangkan keuntungan bagi kita. Mengapa Yesus memposisikan orang Samaria yang adalah orang –orang yang tidak disukai orang Yahudi sebagai orang yang dapat melakukan kasih?? Yesus hendak menggugah orang Yahudi bahwa orang – orang yang dipandang rendah justru mampu melakukan perbuatan kasih sesuai perintah Tuhan. Hindari pikiran yang menganggap diri terlalu suci di hadapan Tuhan, menyudutkan, merendahkan orang lain padahal kurang mampu melakukan perintah Tuhan dengan sempurna.
Selanjutnya Yesus langsung mengarahkan pembicaraan itu pada pokok utamanya dengan pertanyaan di ayat 36 “Siapakah di antara ketiga orang ini menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” dan akhirnya menemukan jawaban di ayat 37a “Jawab orang itu : orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadaNya”. Dari uraian cerita Yesus di atas, sepertinya Yesus hendak membuka mata ahli taurat yang bertanya itu untuk menyadari bahwa pengetahuan tentang segala bentuk peraturan keagamaan tidak akan ada gunanya, jika tidak terwujud dalam tindakan nyata. Kita bisa berkata bahwa “kita mengasihi Tuhan segenap hati” tetapi nyatanya mengabaikan kasih, perhatian, topangan, pertolongan pada orang yang ada di hadapan kita, maka pengakuan dan pernyataan itu sia – sia. Jika kita sudah memahami, mengetahui tentang ajaran Yesus yang sebenarnya, mohon jangan diabaikan, tetapi seperti perintah Yesus di bagian akhir ayat 37b “pergilah, dan perbuatlah demikian”. Semua pemahaman tentang kasih, semua pengetahuan tentang kasih yang dapat kita uraikan secara panjang lebar, akan menjadi operasional jika terwujud dalam tindakan nyata. Pergi dan perbuatlah seperti yang Tuhan Yesus ajarkan. Amin.