DODOKUGMIM.COM, TOMOHON – Selasa (2/6/2020) hari ini, Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) GMIM menggelar rapat, membahas ricuh RSU. Pancaran Kasih pada Senin (1/6/2020). Kericuhan yang bermula dari penanganan jenazah dan berujung pada pengrusakan fasilitas rumah sakit.
Hal ini disampaikan Wakil Sekretaris BPMS GMIM Bidang Hukum, HAM dan Sertifikasi Aset Pnt. Jhonly Wendur, SH, MH. “Akan ada rapat BPMS hari ini,” kata dia, Selasa pagi.
Dalam rapat tersebut, lanjut dia, BPMS akan meminta klarifikasi dari Direktur Utama RSU. Pancaran Kasih dr. Franky Kambey, M.Kes. “Kami akan mendengarkan penjelasan Direktur RSU. Pancaran Kasih, dan setelah itu akan memutuskan langkah selanjutnya,” tutur dia.
Ia mengakui, ada permintaan-permintaan kepada BPMS untuk melakukan langkah-langkah hukum. “Kami akan membahas dulu semua ini secara bersama dan meminta penjelasan dari pihak rumah sakit, barulah akan memutuskan apa yang akan dilakukan,” tegasnya lagi.
Terkait hal ini, Sekretaris BPMS GMIM Pdt. Evert Tangel, S.Th, M.PdK, meminta semua pihak dapat menahan diri agar masalah ini dapat diatasi dengan baik. “Kepada semua warga GMIM agar tidak terprovokasi. Kita harus bersikap tenang. Mari kita semua menahan diri dan menyerahkan semua pada pihak yang berwenang,” ajaknya tegas.
Sementara itu, terkait kericuhan tersebut, Direktur Utama RSU. Pancaran Kasih dr. Franky Kambey, M.Kes menjelaskan, setiap pasien yang dirawat di RSU. Pancaran Kasih, dalam kategori PDP, ODP, ataupun terkonfirmasi covid-19, semuanya dilaporkan ke Dinas Kesehatan Manado dan Dinas Kesehatan Provinsi Sulut, juga ke gugus tugas penanganan covid-19.
“Selama penanganan dan perawatan, apabila pasien meningal dunia, itu juga di notif ke gugus tugas covid-19 KOta Manado, Provinsi Sulut, juga ke Dinas Kesehatan KOta Manado dan Dinas Kesehatan Provinsi Sulut,” jelas Kambey.
Terhadap pasien yang meninggal, Kambey menegaskan ada protokol yang harus digunakan. “Protokol jenazah covid-19,” tegasnya.
Ia menuturkan, pasien yang dirawat di rumah sakit milik GMIM itu, tidak hanya warga GMIM. Tetapi ada yang beragama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Muslim, Budha dan Hindu. Bahkan pasien yang meninggal juga berasal dari berbagai agama ini.
Terkait penanganan pasien Muslim, jelas Kambey, pihaknya menggunakan aturan yang ditetapkan dalam Fatwa MUI tahun 2020 nomor 18 pedoman pengurusan jenazah muslim yang terinfeksi covid-19. Pada pasal 7, diatur jenazah bisa dimandikan dan disholatkan, atas pertimbangan, memandikan dan mengkafani oleh petugas, sedangkan mensholatkan oleh pemuka agama Muslim.
Kambey mengatakan, hal tersebut sudah dilakukan sebelumnya pada pasien-pasien lain yang meninggal. Pada pemuka agama yang bertugas, pihak rumah sakit membuat kebijakan dengan memberikan Alat Pelindung Diri (APD ) level 3 untuk dipakai selama bekerja dan memberikan insentif sebesar Rp.500 ribu per orang.
Pada kejadian tersebut, kata Kambey, hanya ada satu orang yang bertugas, tapi biasanya ada tiga orang. Insentif disiapkan untuk tiga pemuka agama. Ia kemudian mendapat laporan, masih ada dua amplop yang tersisa, sebab hanya satu orang yang bertugas. “Saya mengatakan berikan kepada siapa saja yang ada di situ. Kebetulan yang ada di situ keluarga. Jadi ada salah paham di sini. Kami mohon maaf dari lubuk hati yang dalam bila ada kesalahan, tetapi kami hanya menjalankan kebijakan yang dibuat,” kata dia.
Kambey menegaskan kembali, pihaknya tidak menyogok keluarga untuk mengatakan jenazah positif covid-19. “Untuk menentukan terkonfirmasi covid-19 harus melalui pemeriksaan Swab, PCR dan harus positif. Sepanjang belum ada hasil, tidak bisa ditentukan pasien positif atau tidak,” tegasnya.
Pada kejadian Senin kemarin, lanjut Kambey, jenazah terkonfirmasi sebagai pasien PDP covid-19. Sebab itu jenazah harus menggunakan protokol covid-19. “Terhadap informasi bahwa kami mengizinkan jenazah di bawa pulang, itu tidak benar. ada kesalahpahaman. Kami menjalankan tugas sesuai protokol yang ada,” tambah dia seraya menyampaikan rasa belasungkawa yang dalam bagi keluarga.(dodokugmim/*/saratuwomea)