TEMA BULANAN :“Rumah Allah, Inspirasi Perubahan”
TEMA MINGGUAN :“Dibiarkan Bergumul Sendiri”
BACAAN ALKITAB : Markus 14:32-42
ALASAN PEMILIHAN TEMA
Salah satu gaya hidup manusia modern untuk mem-bangun kehidupan adalah memiliki sifat yang individualistik. Semua orientasi dan kebutuhannya adalah untuk kepentingan yang terarah pada diri sendiri. Pelit berbagi apalagi berkorban untuk orang lain. Kalaupun harus berbagi, pasti kalkulasi diperhitungkan secara matang untung rugi. Bagi orang seperti ini, hidup tidak pernah gratis maka hukum ekonomi mendasari semua cara hidupnya dalam pergaulan sosial.
Gejala di atas, semakin memojokkan spiritualitas (kesadaran rohani) ke dalam ruang gelap. Agama sudah hampir tidak berfungsi lagi dalam hidup yang bersaing ketat di dunia modern. Gereja seharusnya mengajarkan tentang kepedulian dalam wujud belas kasih; pengurbanan tulus tanpa pamrih; berkurban tanpa imbalan apa-apa; dan menjaga harkat kemanusiaan dalam cara hidup kudus setiap hari. Gereja tidak akan berhenti menyuarakan pesan-pesan moral-nya sebagai amanat dari TUHAN, Yesus Kristus untuk melawan kekuatan roh individualisme dalam spirit kemanu-siaan sepanjang zaman. Gerakan Mesianis dari nabi-nabi Israel diserukan dalam rangka agar manusia sejagad raya terus menerus menyerap semua nilai-nilai kehidupan sang Mesias. Orang percaya diberikan Tuhan untuk sebuah inspirasi bagi kepentingan perubahan hidup dalam tradisi dan budaya digital sampai pada percaturan politik dan ekonomi.
Permasalahan yang muncul bahwa manusia terlalu berani memilih untuk berjuang di dunia yang ketat persaingannya di semua sektor kehidupan serta dikelilingi bahaya dan siasat sesat kehidupan tanpa peduli dan belas kasih. Banyak individu sudah terhempas serta terisolasi dari dunia sosialnya tanpa rasa peduli dari sesamanya. Gereja ingin menggugah rasa solidaritas kemanusiaan itu, untuk menjadikan hidup bermakna sesuai dengan sabda TUHAN. Karena itu tema yang dipilih minggu ini adalah ‘Dibiarkan Bergumul Sendiri’.
PEMBAHASAN TEMATIS
Pembahasan Teks Alkitab (Exegese)
Kitab Markus merupakan kitab injil tertua ditulis pada tahun 55-65 M., Itu berarti, sangat dekat dengan tahun pelayanan dan kematian Yesus Kristus tahun 30-33 M. Meskipun tidak dicantumkan nama penulis dalan injil ini, para sarjana sepakat bahwa injil ini ditulis oleh Markus sebagai sebuah pedoman iman bagi jemaat Kristen terutama saat sedang berhadapan dengan pemerintahan Romawi, kaisar Nero yang sangat kejam menyiksa dan membantai umat Kristen. Oleh karena itu, Injil ini memberikan kesaksian terutama pada Yesus Kristus, Anak Allah yang menderita sehingga mereka seolah diajak untuk mengambil bagian dalam penderitaan dengan Yesus Kristus.
Markus 14:32-42 dimana Yesus dan murid-Nya memasuki taman Getsemani, di sisi Timur Lembah Kidron, di sebuah daerah dekat Bukit Zaitun untuk berdoa. Di tempat inilah awal dari seluruh kesesakan jiwa-Nya menghadapi proses jalan penderitaan itu bermula. Di dalam taman, Ia mengajak tiga orang murid lebih dekat melihat dan mendengar keluhan, rintihan dan kesusahan jiwa-Nya. Mereka itu adalah Simon (Petrus), Yakobus dan Yohanes. Mengapa nama-nama ini yang Dia pilih? Ketiga orang ini pernah menyombongkan diri untuk menjadi front pembela Yesus paling berkomitmen dan paling berani dari antara semua murid yang lain (Lihat pengakuan Petrus dalam Markus 14:31; Yakobus dan Yohanes dalam Markus 10:39). Mereka adalah orang-orang yang mengaku paling siap menghadapi semua bentuk gangguan apapun terhadap Yesus, bahkan bersedia untuk mati bersama Dia. Sungguh, janji-janji ini memberikan dukungan dan semangat serta belarasa dalam persahabatan yang kelihatan begitu tulus, murni, setia dan teguh! Di taman Getsemani ini, sebelum Dia berdoa seorang diri beberapa meter dari mereka bertiga, Yesus mengutarakan rintihan jiwa-Nya: “hati-Ku sangat sedih seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah.” (ayat 34) Markus melihat situasi Yesus secara emosional bahwa Dia ‘sangat takut dan gentar’ (ayat 33). Markus memilih istilah ini, sangat takut atau (Yun. Ekhtambeisthai) yaitu perasaan jiwa yang amat cemas membayangkan datangnya penderitaan fisik dan mental secara mengerikan yang akan dihadapi orang ini. Istilah Ekhtambeisthai tidak akan pernah dialami oleh manusia siapapun menghadapi penderitaan paling mengerikan sepan-jang peradaban manusia. Hanya kepada Yesus istilah khusus ini digunakan oleh Markus yang melukiskan kecemasan dari seorang suci, Yesus. Dia mengatakan ketakutan ini kepada mereka bertiga yang mengaku front pembela-Nya. Mereka diam seribu bahasa dan kecemasan yang amat sangat oleh Yesus sendirian dalam doa-Nya. Ia bergulat dalam pergumulan-Nya seorang diri bersama Bapa-Nya. Sahabat-sahabat-Nya tidak peduli apalagi mau bersedia untuk berjaga-jaga, malah mereka tidur! (ayat 37). Bagi Markus, semua orang memiliki kerapuhan dalam membangun dan membina persahabatan karena tidak mengakar dalam jiwa. Janji kesetiaan manusia ternyata temporer, lemah dan tidak berkekuatan tetap. Itulah sebabnya, semua janji yang dibangun oleh manusia selalu berkemungkinan besar bergeser dan berubah. Sulit sekali menemukan orang yang memiliki integritas tinggi untuk teguh dalam prinsip kesetiakawanan. Manusia mudah rapuh dan karena itu mudah jatuh! Yesus tahu bahwa janji sahabat-sahabat kepada-Nya adalah omong kosong tetapi meskipun demikian Ia tidak memaksa mereka untuk ‘menghibur dan menemani-Nya untuk bergumul bersama. Pilihan dan sikap ada pada sahabat-sahabat-Nya. Yesus bergumul sendiri meski mereka mendengar rintihan dalam doa-Nya. Dia minta agar mereka berjaga-jaga tetapi yang terjadi justru sebaliknya, Dia yang bergumul hebat seolah mulai merasakan langkah-langkah derita-Nya, disaat yang sama Dialah yang menjaga mereka yang tidur dalam ketidak-pedulian. Yesus adalah sahabat paling tulus dan paling mengerti atas keadaan kelemahan dan ketidaksetiaan dari sahabat-sahabat-Nya. Ia tetap mengasihi dan melindungi meskipun mereka ingkar kepada-Nya.
Markus menyampaikan bagaimana Yesus menyapa Allah sebagai ‘Abba, Bapa’ (ayat 35, Syria: Abba) dalam tiga kali doa-Nya. Sebutan ini bermakna relasi personal yang amat intim antara Sang Anak dan Sang Bapa yang tidak berarti kemauan Anak harus selalu dipenuhi. Yesus menaati Bapa-Nya untuk memenuhi rencana penebusan manusia dan tindakan keselamatan yang harus dikerjakan sendiri Sang Anak melalui jalan penderitaan tiada tara sampai tetes darah terakhir. Bapa melihat keteguhan, kesungguhan ketaatan Putra-Nya mereguk cawan derita sendirian. Ia sendiri menderita. Sungguh sebuah relasi yang mengikat tapi juga melepas dan penderitaan tidak membuat hubungan itu terpisah.
Yesus berkata kepada para murid, ayat 41: ‘Apekei’ (Yun: cukuplah=Aku membebaskan kamu) artinya bahwa tidak berguna lagi untuk berjaga, murid-murid-Nya paham arti kata ini bahwa sekarang tiba saatnya mereka berada pada situasi yang sangat tidak aman dan mereka akan meninggalkan Dia sendirian menghadapi semua masalah yang mengantarkan-Nya ke jalan kematian melalui penderitaan yang paling menyakitkan dan menyedihkan.
Makna dan Implikasi Firman
Dalam dunia politik ada jargon terkenal, ‘tidak ada sahabat sejati, yang ada adalah kepentingan’. Bukan manusia-nya yang paling penting dan berarti melainkan kepentingan jabatan dan materi di atas segalanya. Inilah falsafah dari roh materialisme yang menginjak-injak martabat kemanusiaan yang terus dikejar dalam peran sosial untuk memperjuangkan hidup. Tidak ada dimensi rohani di sana walaupun mereka beragama. Mereka hanya terhubung dan akrab seperti jalinan uang dan jabatan. Sebentar akrab dan intim saat yang lain bertengkar dan berpisah seperti kata yang diucapkan Yesus, apekei, merasa cukup jika kemauan terpenuhi selanjutnya tempuh jalan masing-masing. Betapa berbahayanya persaha-batan itu dirobek lantaran kecanduan uang dan jabatan. Untuk menghadapi masalah dan persoalan nilai dari sebuah persahabatan harus dibangun melalui relasi intim dalam dialog untuk membangun komitmen yaitu saling menjaga dan terbuka atas koreksi dan sedia untuk menghadapi semua rintangan dan bahaya bersama bagi kepentingan banyak orang.
Minggu Sengsara Yesus Kristus yang dihayati orang beriman membawa koreksi bagi setiap warga gereja bagaimana kerapuhan persahabatan dan persaudaraan mudah robek dan hancur baik dalam bentuk sebagai organisasi maupun keluarga dan hubungan personal. Sikap acuh atau tidak peduli terhadap sesama merupakan ancaman sangat serius bagi kedamaian dan harmoni kehidupan. Penderitaan selalu ada di dalam masyarakat kita, akibat dari rapuhnya kita memahami nilai-nilai kemanusiaan itu. Gereja harus terus berkomitmen dalam ‘berjaga-jaga’ dan tidak ‘tidur’ terhadap ancaman disintegrasi keluarga, bergereja dan berbangsa agar tidak terjebak pada kepentingan indivi-dualisme dan materialisme. Gereja harus menjadi sahabat bagi semua orang seperti kitab Amsal mencatat: ”Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (band. Ams.18:24).
PERTANYAAN UNTUK DISKUSI:
- Apa yang dimaksud dibiarkan bergumul sendiri menurut Markus 14 : 32-42?
- Bagaimana upaya Gereja membangun dan mengokohkan keyakinan warga gereja yang dalam pergumulan berat, sehingga mereka tidak merasa “dibiarkan bergumul sendiri”.
- Sikap iman seperti apakah yang harus ditunjukan warga gereja dalam menyikapi berbagai macam pergumulan hidup?
NAS PEMBIMBING: Mazmur 22 : 11-12
POKOK-POKOK DOA:
Persahabatan sejati dibangun dalam semua sektor kehidupan seperti politik, bisnis dan aktifitas lembaga;
Nilai-nilai kepedulian berdasarkan iman sejati kepada Kristus
Kesukaran semua orang dalam perayaan minggu sengsara Yesus Kristus
TATA IBADAH YANG DIUSULKAN:
MINGGU SENGSARA KE IV
NYANYIAN YANG DIUSULKAN:
Persiapan: NNBT No. 4 Naikkan Doa Pada Allah
Nas Pembimbing: KJ No. 441 ‘Ku Ingin Menyerahkan
Pengakuan Dosa : KJ No.35 Tercurah Darah Tuhanku
Pemberitaan Anugerah Allah : NNBT No.9 Ku Akan Selalu Bersyukur
Ajakan Untuk Mengikut Yesus Di Jalan Sengsara: NKB No. 125 Kudengar Panggilan Tuhan
Persembahan : KJ.No.169 Memandang Salib Rajaku
Nyanyian Penutup : DSL.184 Jaga dan Berdoa
ATRIBUT:
Warna dasar ungu dengan simbol XP (Khi-Rho), cawan pengucapan, salib dan mahkota duri.