DODOKUGMIM.COM – Shalom ! Akhir-akhir ini kita sering menggunakan kalimat “pesta iman” yang merujuk pada pemilihan pelayanan khusus yang oleh perkenanan Allah, telah GMIM laksanakan. Sebuah ungkapan yang sebenarnya menjadi bagian yang utuh dalam kehidupan kita berjemaat. Kehidupan berjemaat adalah kehidupan yang mengaktualisasi sebuah pesta iman itu sendiri. Selebrasi iman ini pun patut menjadi momentum bagi kita semua untuk betul-betul keluar dari kegelapan.
Yohanes Calvin, seorang teolog ternama, memaparkan konsepnya tentang gereja. Bagi Calvin, ada yang disebut gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. The visible church dan invisible church. Gereja yang kelihatan adalah kita, manusia yang bersekutu dengan semua aktivitasnya. Sedangkan gereja yang tidak kelihatan adalah Allah yang bekerja di dalam diri manusia. Seperti halnya dengan pengertian gereja itu sendiri, bahwa mereka yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju pada terang, demikianlah perikop ini menjelaskan tentang tanggung jawab bergereja.
Kota Efesus merupakan kota yang sengat besar yang menjadi pusat penyembahan dewa-dewa Yunani. Dalam tulisannya, Paulus menggambarkan kesukacitaanya kepada jemaat Efesus yang tumbuh dengan iman percaya akan Kristus Yesus serta bagaimana mereka peduli kepada sesama orang percaya dan tentang iman mereka. Dua garis besar yang dapat kita pahami dalam membaca surat ini, yang pertama yakni Paulus menulusuri kisah Injil yang mencapai puncaknya di dalam Kristus dan komunitas yang dibentuk dari berbagai suku (pasal 1-3). Paruh yang kedua, Paulus mengulas bagaimana kisah injil tersebut mempengaruhi kisah kita (pasal 4-6). Kisah Injil dan Kisah Kita dihubungkan dengan kalimat “sebab itu.
Dalam perikop yang kita baca, Paulus menantang jemaat untuk dapat menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru.
Yesus menyelamatkan manusia agar dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah. Dengan begitu, jemaat diajak untuk dapat betul-betul keluar dari kegelapan itu sendiri dan menuju kea rah terang Kristus Yesus yang adalah kepala Gereja. Manusia lama menggambarkan kehidupan yang amburadul dan memiliki perasaan yang tumpul. Manusia lama merujuk pada kecacatan iman. Dalam pasal 2:1, Paulus berkata “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggara-pelanggaran dan dosa-dosamu.”. Kita hidup, tapi mati.
Berbanding terbalik dengan kehidupan manusia yang baru. Manusia baru menggambarkan kehidupan yang telah menunjukkan langkah yang lebih maju setelah mengenal Kristus Yesus. Kehidupan yang memiliki kesempurnaan untuk merayakan iman mereka. Manusia baru membuang dusta dan mengatakan hak yang benar. Manusia baru menggunakan kata-kata ynag baik dan yang dapat membangun orang lain dan tentunya dirinya sendiri. Manusia baru bukannya menyimpan kemarahan, tetapi menyelesaikan konflik dengan damai. Bukan mencuri, tapi murah hati. Bukan pendendam tapi pengampun. Manusia baru mampu mengendalikan hawa nafsu. Manusia baru hidup dibawah naungan Roh Kudus.
Orang yang hidup di dalam naungan Roh Kudus berarti ia harus betul-betul mau dituntun dengan kuasa Roh Kudus untuk hidup benar dihadapan Allah. Dititik inilah manusia baru dipahami sebagai tujuan hidup seorang manusia, “ramah terhadap seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Ayat 32).
Oleh karena itu, dari semua ragam karunia yang kita miliki, dari semua ragam posisi yang dipercayakan kepada kita, dari semua ragam jabatan yang dipercayakan kepada kita, semuanya harus diarahkan di dalam kasih. Penggunaan kasih dalam kehidupan sehari-hari memudahkan kita untuk dapat mengenakan manusia baru.
Ada dua sifat yang melekat erat dalam diri kita. Egoisme dan Altruisme. Egoisme adalah paham mementingkan kepeentingan pribada, sedangkan Altruisme paham yang memetingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Pertanyaan bagi kita sekarang, di sisi mana kita ?
Menjadi manusia baru, adalah sebuah dorongan untuk kembali menelaah penggilan iman kita sebagai orang yang diutus ke dunia ini. Atmosfer pemilihan pelayanan khusus masih sangat kental bagi kita warga GMIM, masih aka nada pemilihan di aras wilayah dan sinodal. Tempatkanlah komitmen itu menjadi kiblat kita untuk terus melayani Kristus bukan melayani diri sendiri. Sebagai bagian dari jemaat, gereja bukan tempat kita memamerkan ke-lama-an kita sebagai manusia yang patah arah dan tidak mau merendahkan diri di hadapan Kristus. Melainkan menjadi manusia ke-kini-an untuk menjawab segala problematika gereja serta memperlengkapi anggota jemaat lain termasuk diri sendiri.
31 Oktober kita merayakan, Hari Reformasi. Takkala 95 dalil di depan pintu Gereja Kastil Wittenberg, Jerman pada tahun 1517. Inti dari 95 dalil Luther adalah untuk mengutuk praktek indulgensia yang berlangsung pada saat itu. Indulgensia adalah surat penghapusan dosa. Singkatnya, orang membeli surat yang dipercaya dapat mengurangi hukuman yang diakibatkan karena dosa. Sebagai orang beriman tentu kita pun mengakui bahwa untuk mencapai keselamatan adalah lewat iman itu sendiri dan bahwa alkitab menjadi otoritas utama.
Sebagaimana manusia baru dapat merayakan imannya dalam kehidupan sehari-hari agar dapat hidup menurut firmannya, begitu pun dalam kehidupan berjemaat. Kenakanlah manusia baru dan tanggalkanlah manusia yang lama. Rayakanlah imanmu yang telah menyelamatkan kamu sekalian. Rayakanlah kehidupanmu sebagai bagian yang nyata ucapan syukurmu. Jalanlah berarak-arakan ke arah pengenalan akan Kristus Yesus agar kita menjadi manusia, dan manusia yang dapat memanusiakan manusia lain.
Terpujilah Kristus, Providentia!