Oleh : Pdt. Jouke Bambulu, S.Th. M.PdK (Penulis adalah pendeta GMIM di Jemaat Imanuel Wanea)
YESAYA 52 : 13 – 53 :12
DODOKUGMIM.COM – Jika ditanyakan kepada kita ‘apa sebutan untuk orang-orang yang melayani Tuhan?” Tentu saja kita akan serentak menjawab “hamba atau pelayan”. Mengapa bukan pejabat atau pemimpin? Karena pekerjaan melayani Tuhan memang identik dengan seorang hamba yang sulit, menuntut kesetiaan dan ketaatan, dan menuntut pengorbanan yang tidak sedikit.
Dalam kenyataan ada yang mengaku dan menganggap diri hamba tetapi prakteknya tidak demikian, dia malahan menempatkan diri sebagai tuan yang selalu ingin disanjung dan dihormati tanpa sedikitpun merendahkan diri. Seorang hamba punya pribadi yang rendah hati, mengetahui dengan jelas bahwa dia bekerja untuk tuannya. Semua orang pasti mengetahui dengan jelas apa itu hamba.
Hamba adalah orang yang mengabdikan diri pada tuannya. Mengabdikan diri berarti siap sedia jika dibutuhkan, siap sedia untuk melakukan perintah dan aturan-aturan dari tuannya. Dalam bagian ini kembali ada nyanyian tentang hamba Tuhan yang memang menggambarkan apa dampak, akibat dan juga konsekuensi dari seorang yang mengabdikan dirinya sebagai hamba. Bukan hanya rela melakukan apa saja tetapi juga rela diperlakukan bagaikan orang yang bersalah.
Hamba Tuhan dalam gambaran Yesaya adalah hamba Tuhan yang harus menderita secara fisik dan psikhis. Bagaimana tidak menderita sedangkan bagian sebelumnya dari pasal 53 ini menyebutkan dia dihina, dihindari orang, penuh kesengsaraan dan biasa menanggung kesakitan, dan sebagainya.
Coba kita membayangkan, jika kita diperlakukan demikian? Bagaimana rasanya jika keberadaan kita tidak diperhitungkan orang lain, dipandang rendah bahkan dihina, dan dituduh bersalah ketika tidak bersalah? Pasti ada rasa sakit hati yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi hamba Tuhan disini rela menanggung itu, rela menjalani semua penderitaan itu. Yang hanya bisa dilakukan adalah ikhlas dan tabah menerima perlakuan itu sebagai konsekuensi dari pilihan. Keikhlasan akan membuat kita berlapang dada menerima apa yang akan terjadi.
Kesediaan diri hamba Tuhan ini memang berlatar belakang kesetiaan dan ketaatan kepada tuannya. Memang syarat utama menjadi seorang hamba adalah taat dan setia. Walaupun punya kerajinan, keahlian, keterampilan, kemampuan yang dapat diandalkan, jika tidak punya loyalitas dan pemberian diri yang sungguh-sungguh tidak ada gunanya. Loyalitas dan pemberian diri yang sungguh-sungguh tidak akan menjadikan seorang hamba menyerah untuk tidak melanjutkan tugasnya.
Memang dimana-mana kita mendengar tentang kesetiaan dan ketaatan, memang bukan hal baru tetapi wujud nyata dari kesetiaan dan ketaatan itu memang sulit dilakukan, apalagi kepentingan diri, keamanan diri sendiri masih menjadi tujuan banyak orang. Seorang hamba di masa ini kadang-kadang bersikap sebaliknya. Menyebut diri hamba tetapi ingin diperlakukan sebagai tuan.
Semangat melayani, pemberian diri kadangkala mulai melemah hanya karena persoalan-persoalan kecil yang sebenarnya dapat diatasi. Pelayanan menjadi kurang maksimal hanya karena ada kesulitan-kesulitan yang sebenarnya dapat dilalui. Kerajinan menjadi kendor hanya karena tidak mau mengalah, tidak mau mengakui kesalahan dan kelalaian masing-masing. Jika hal-hal ini masih terjadi dapat dipertanyakan komitmen pelayanan kita sebagai hamba Tuhan. Sedangkan mengalahkan kepentingan sendiri sulit apalagi dihina, dihindari, tidak diperhitungkan.
Bagian ini kembali menggambarkan bahwa hamba Tuhan adalah seorang yang mengalahkan kepentingan sendiri untuk kepentingan orang banyak. Apa yang ditanggung-Nya itu bukan karena kesalahan dan kelalaiannya melainkan kesalahan orang lain. Sangat bertolak belakang dengan yang marak terjadi sekarang ini. Orang yang melakukan kesalahan saja kadang-kadang menghindar dan cari aman untuk tidak mengakui kesalahan. Padahal ada ungkapan “berani berbuat, harus berani bertanggung jawab”. Kesalahan-kesalahan orang banyak menjadi kesalahan satu orang. Sangat tidak masuk akal, sangat tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat. Tetapi itulah yang terjadi dalam nubuatan hamba Tuhan ini.
Pernyataan-pernyataan ini mengisyaratkan bahwa manusia yang telah ditebus, manusia yang telah diangkat dari lembah dosa, manusia yang dipulihkan dari kesalahan dan pelanggarannya terkadang pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak sadar dengan karya besar yang dilakukan-Nya, akibatnya lupa bersyukur, lupa berterima kasih. Jika memakai prinsip-prinsip duniawi bahwa yang bersalah seharusnya dihukum, manusia tidak akan lolos dari penghukuman karena dosa. Sehingga disebutkan “ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya”.
Berita ini memang berlaku di zaman pembuangan, di zaman perjanjian Baru melalui kehadiran Yesus sampai zaman orang percaya sekarang ini. Pengorbanan Yesus bagi dunia dan manusia inilah yang kita renungkan sepanjang minggu-minggu sengsara ini. Rencana Allah bagi manusia memang sangat indah. Tidak dapat diselami oleh akan manusia bahwa ada orang yang rela memberikan diri-Nya untuk menjadi tumbal, untuk menjadi ganti dari manusia yang berdosa. Dalam rangka itu maka Allah mengutus Yesus untuk memikul semua beban dosa kita, untuk menggantikan kita yang seharusnya menanggung kesalahan itu. Dia yang mulia itu rela merendahkan diri untuk kita.
Dia yang mulia itu rela menanggung akibat dari kesalahan dan pelanggaran manusia. Di dalam Dia manusia yang percaya kepada-Nya dibebaskan dari dosa, karena Dia rela memikul sengsara kita. Sebab itu di balik kesengsaraan-Nya manusia dibebaskan, manusia dimerdekakan dari hukuman. Sambil kita merenungkan sengsara-Nya, kita pun diajak untuk melihat sejauh mana kita tampil sebagai orang-orang yang ditebus?
Apakah pemberian diri kita kepada Tuhan sungguh-sungguh atau hanya karena alasan-alasan tertentu? Apakah dalam hati kita ada kerendahan hati seperti seorang hamba? Apakah kita rela menderita untuk melayani Tuhan atau kita hanya ingin hal-hal yang menguntungkan kita saja?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini ada pada diri kita masing-masing. Yang perlu diingat dan direnungkan adalah karena Kristus telah memikul sengsara kita, maka ketaatan kepada-Nya harus dinampakkan, meski ada kesengsaraan, kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi. Perjalanan menjadi hamba-Nya yang setia, memang perjalanan yang susah sehingga ada pepatah Yahudi yang menyebutkan “lebih mudah seekor untah melewati lubang jarum dari pada mengikut Yesus”. Tetapi kesetiaan kita mengikut Dia dengan segala akibat yang harus kita tanggung adalah jawaban iman atas penebusan yang dikerjakan-Nya melalui Yesus. Memang tidak mudah tapi percayalah, Tuhan memahami setiap keterbatasan kita karena itu Dia akan terus menguatkan dan mengokohkan kita. Bagi kita yang menjadi hambaNya, mari menempatkan Tuhan dan kuasa serta kehendak-Nya diatas segala kehendak dan keinginan kita niscaya kita terus ditopang untuk menjadi hamba-Nya yang setia yang bersedia menanggung resiko dari pilihan itu. Tuhan memberkati. (dodokugmim/jouke)