TEMA BULANAN: “Rumah Allah, Inspirasi Perubahan”
TEMA MINGGUAN: “Awas, Politisasi Agama ”
BACAAN ALKITAB: Lukas 22:63-71
ALASAN PEMILIHAN TEMA:
Pesta demokrasi di Indonesia tahun 2019 masih menyisahkan berbagai peristiwa penting yang patut dicermati dan perlu ditangani secara profesional oleh Pemerintah dan semua yang berkompeten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peristiwa penting yang dimaksud-kan adalah munculnya “kekuatan-kekuatan lain” yang sering menggunakan agama sebagai komoditas politik untuk membangun sarana destruktif untuk menggelorakan atau mengobarkan pertikaian hingga berdampak buruk bagi terciptanya suasana yang aman, damai dan penuh pesona. Perilaku yang tidak baik adalah ketidak-dewasaan untuk melakukan politik yang dikehendaki oleh Tuhan. Nafsu kekuasaan yang berdampak buruk pada rapuhnya solidaritas kebangsaan. Sikap sebagian politikus dan tokoh agama telah menjadikan agama sebagai alat untuk meraih tujuan politik. Semestinya agama menjadi rujukan terbaik, sebagai inspirasi perubahan dalam dinamika politik dan menjadi kekuatan yang dapat menghilangkan tabiat berpolitik yang tidak baik yakni cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan dan kekuasaan. Orang Kristen harus peka dalam mencermati bahwa Rumah Allah harus dijadikan sebagai sumber inspirasi perubahan karakter dalam berdemokrasi. Nilai-nilai keagamaan harus menjadi sebuah kekuatan besar untuk menggerakan, menciptakan suasana yang kondusif dalam mewujudkan kesejahteraan bersama di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara. Dengan alasan tersebut tema sepanjang minggu sengsara ke-V ini, adalah: “Awas, Politisasi Agama”.
PEMBAHASAN TEMATIS
Pembahasan Teks Alkitab (Exegese)
Tradisi Kristen mula-mula berpendapat bahwa yang menulis Kitab Injil Lukas adalah Lukas, seorang “tabib” atau “dokter” (Kolose 4:14) yang menjadi teman sepelayanan rasul Paulus dalam memberitakan Injil Yesus Kristus (Filemon 1:24). Lukas menulis kitab ini kira-kira tahun 63 M, pada masa pemerintahan Kaisar Nero (54-68 M), (band. Kis.28:30-31), dengan mengalamatkannya kepada Theofilus dan orang-orang percaya lainnya untuk tetap komitmen dalam imannya kepada Yesus Kristus.
Khusus pasal 22:63-71, menceritakan tentang bagai-mana perilaku yang ditunjukkan oleh orang-orang yang menahan Yesus. Mereka mempermainkan/menghina dan memukuli Yesus serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pekerjaan dan pelayanan Yesus. Pertanyaan retoris, seperti “cobalah katakan siapakah yang memukul Engkau? Yesus tidak menjawabnya, sebab Yesus tahu bahwa mereka sedang melampiaskan kekecewaan dan kemarahan tanpa alasan yang sebenarnya, (ayat 63-65). Pada hal menurut hukum agama Yahudi, mereka seharusnya tidak memperlakukan Yesus dengan cara mereka sendiri. Hukum agama tidak membenarkan perlakuan sewenang-wenang terhadap seseorang sebelum ia dinyatakan bersalah atau sebelum ada ketetapan hukum yang tepat.
Yesus betul-betul dijadikan sebagai bahan lelucon/ ejekan oleh para penjaga yang sedang bertugas diantara berakhirnya pemeriksaan oleh Mahkamah Agama dan proses peradilan Yesus oleh Pilatus. Lukas menceritakan bahwa pengadilan Yahudi terhadap Yesus tidak lagi berjalan sesuai hukum agama. Hukum Agama sudah dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk menghukum Yesus. Penggunaan aturan agama sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan inilah yang dinamakan politisasi agama yang bermuara pada keputusan yang salah dan terkesan terlalu dipaksakan. Ayat 66, dikatakan: “…setelah hari siang”, berarti pengadilan terhadap Yesus sudah terjadi pada hari jumat pagi oleh para tua-tua bangsa Yahudi, mereka adalah pemimpin-pemimpin agama Yahudi yang sangat dihormati oleh masyarakat Yahudi dan punya kapasitas untuk mengadili para pelanggar hukum agama Yahudi, (lih. Lukas 7:3). Selain tua-tua bangsa Yahudi, Yesus juga diadili oleh imam-imam kepala. Imam-imam kepala yang mengadili Yesus adalah imam-imam bangsa Yahudi yang terdiri dari dua puluh empat kelompok, dan yang menjadi kepala setiap kelompok disebut “imam kepala”, (band. Lukas 9:22). Ada kelompok yang lain juga, yakni kelompok ahli-ahli Taurat yang mengadili Yesus. Ahli-ahli Taurat adalah para pakar yang memiliki keahlian dalam menafsirkan kitab suci orang Yahudi ( lih. Lukas 5:7). Mereka menghadapkan Yesus ke Mahkamah Agama, sebagai sebuah institusi pengadilan yang dapat mengambil keputusan tertinggi keagamaan dan masyarakat orang Yahudi yang terdiri dari tujuh puluh orang terhormat/terpandang dan dipimpin oleh Imam Besar. Sebagai lembaga tertinggi, Mahkamah Agama punya hak legitimasi hukum bersalah atau tidak bersalah terhadap seseorang yang menjalani peradilan.Tetapi dalam hal peradilan Yesus, Mahkamah Agama bukan lagi menjadi lembaga untuk melindungi umat, tapi sudah menjadi alat kekuasaan politik. Mahkamah Agama justru yang mencip-takan politisasi Agama. Semestinya mereka tidak menciptakan kematian dalam berpolitik, akan tetapi menjadi sumber perubahan. Hal menarik dalam pengadilan Yesus adalah bersatunya tiga kekuatan besar (Tua-tua bangsa Yahudi, Imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat). Padahal peran mereka berbeda-beda. Mereka sadar betul, bahwa kehadiran Yesus menjadi ancaman besar dan jika Yesus diputuskan tidak bersalah, maka hancur semua kapasitas dan reputasi mereka. Selanjutnya pada ayat 67-69, dikatakan: ”jikalau Engkau adalah Mesias, katakanlah kepada kami” adalah permintaan mereka kepada Yesus untuk menjawab dihadapan pengadilan, bahwa Dia benar-benar adalah Mesias. Kepada Yesus, pengadilan meminta jawaban keabsahan tentang kemesiasan-Nya. Tetapi Yesus menjawab :”Sekalipun Aku mengatakannya kepada kamu, namun kamu tidak akan percaya, dan sekalipun Aku bertanya sesuatu kepadamu, namun kamu tidak akan menjawab.” Yesus tidak menyangkal diri-Nya sebagai Mesias dan Anak Allah, walaupun mereka pasti tidak akan mempercayai-Nya sebab mereka sudah mempunyai keputusan tersendiri. Bagi mereka Yesus hanyalah seorang tukang kayu dari Nazaret, Putra Yusuf dan Maria. Tidak benar, jika Yesus itu adalah Mesias, Anak Allah. Untuk itulah pertanyaan terakhir yang diajukan, sangat berhubungan dengan Ke-Allah-an Yesus, “kata mereka semua: Kalau begitu, Engkau ini Anak Allah?” Jawab Yesus: “Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah, (ayat 70-71). Pernyataan Yesus ini sangat mengganggu doktrin ke-Yahudian, mereka takut perubahan yang dilakukan oleh Yesus, padahal Yesus sendiri adalah perubahan. Mereka berkolusi untuk menjatuhkan Yesus, mengintimidasi fisik-Nya, siapa tahu Yesus berubah pikiran-Nya. Yesus tidak berubah cara pandang-Nya hanya karena kolusi dan intimidasi fisik yang dialami-Nya. Konsistensi pada komitmen-Nya yang sempurna, agar manusia tidak binasa melainkan hidup kekal, (band. Yoh. 3:16).
Makna dan Implikasi Firman
Gereja sedang memaknai Minggu-minggu sengsara Tuhan Yesus Kristus. Minggu sengsara adalah bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian perjalanan pelayanan Yesus, yang dimulai dari peristiwa Betlehem (kelahiran-Nya) sampai pada peristiwa kenaikan-Nya ke Sorga. Karena itu di bawah ini ada beberapa pokok penting:
Alkitab adalah rujukan terbaik sebagai sumber inspirasi perubahan dalam dinamika politik dan menjadi sumber motivasi perubahan karakter dalam berdemokrasi dan berpolitik. Lembaga agama (termasuk gereja), jangan dijadikan sebagai kendaraan dan alat untuk kekuatan politik dalam mengadili orang lain, apalagi jika hal itu dilakukan hanya karena tujuan-tujuan tertentu. Gereja sebagai sebuah lembaga yang dibentuk dan didirikan oleh Tuhan Yesus melalui kuasa Roh Kudus, sudah seharusnya mampu menyeimbangkan kehidupan politik dan agama, serta menjadi lembaga yang mampu menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi Indonesia khususnya dan dunia umumnya. Gereja menjadi garam dan terang bagi para politisi yang rendah hati, berjuang demi keadilan, berkorban dan tidak serakah. Sebagai memimpin yang melayani umat harus menjadi contoh dan teladan dalam mempraktekkan iman percaya kepada Yesus Kristus.
Minggu sengsara Tuhan Yesus Kristus adalah momentum untuk menahan diri dari sikap menghasut, memfitnah dan menghina orang lain. Orang percaya tidak diajar untuk bersikap antipati terhadap orang lain, atau terhadap kelompok-kelompok tertentu, tapi terus meneladani pola hidup yang telah diteladankan oleh Yesus Kristus, meskipun dihina, dicaci-maki, dipukuli, namun tidak melakukan perlawanan, tapi justru memberi ruang kasih dan pengampunan bagi musuh-musuh-Nya untuk bertobat dan kembali hidup pada jalan kebenaran.
Rumah Allah hendaknya menjadi sumber inspirasi dan motivasi dalam menciptakan perubahan karakter dalam berdemokrasi dan berpolitik. Pola hidup Kristus menjadi sumber inspirasi dalam mewujudkan panggilan-Nya, agar gereja tidak terjebak pada politisasi agama yang semu dan tidak bermartabat. Awas, politisasi agama yang adalah sebuah pernyataan syarat makna untuk memperingatkan gereja agar tetap peka, waspada dengan berbagai realitas kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara.
Perayaan Minggu sengsara, hendaknya memiliki makna bagi penyegaran spiritualitas dan pemantapan komitmen pelayanan untuk ambil bagian dalam karya solidaritas Allah bagi dunia dan manusia. Pemantapan komitmen ini menyadarkan orang percaya bahwa sesungguhnya kekristenan bukan hanya suatu upaya melekatkan diri pada Kristus yang menderita sengsara, mati tersalib dan bangkit, tapi mencontoh tabiat Kristus dalam segala karya-Nya demi terciptanya sebuah perubahan hidup yang berkemenangan.
Upaya politisasi agama untuk kepentingan kekuasaan oleh para elit politik atau pun agama menunjukkan bahwa agama rentan dipakai menjadi alat adu domba untuk tujuan kepentingan yang terselubung. Agama dan Gereja harus berperan secara positif, kritis, realistis untuk membangun peradaban politik di Indonesia yang lebih baik. Hendaknya gereja tetap berkomitmen untuk memberitakan Tuhan Yesus yang menderita, disalibkan dan bangkit pada hari ketiga untuk memberi jaminan keselamatan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.
PERTANYAAN UNTUK DISKUSI:
- Apa yang saudara pahami tentang politisasi agama yang dilakukan oleh tua-tua Yahudi, Imam-Imam Kepala, ahli-ahli Taurat menurut Lukas 22:63-71?
- Bagaimanakah sikap gereja terhadap para penguasa, elit politik, elit agama yang sering terlibat dalam politisasi agama dengan menjadikan agama sebagai kendaraan politik untuk mencapai tujuan.
NAS PEMBIMBING: Yesaya 59:3-4
POKOK-POKOK DOA:
Doa bagi para penguasa, elit politik, elit agama, agar tidak melakukan politisasi agama untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan, tetapi menjadi sumber inspirasi perubahan dalam berdemokrasi dan berpolitik.
Doa bagi gereja untuk tidak terprovokasi oleh penyebaran berita bohong, hasutan, fitnah yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Doa bagi keluarga Kristen untuk terus menciptakan suasana damai sejahtera dalam keluarga sebagai wujud keterpanggilan imannya kepada Yesus Kristus.
TATA IBADAH YANG DIUSULKAN:
MINGGU SENGSARA KE-V
NYANYIAN YANG DIUSULKAN:
Persiapan: NKB No. 83 Nun Di Bukit Yang Jauh
Nas Pembimbing: KJ No.405 Kaulah Ya Tuhan Surya Hidupku
Pengakuan Dosa: NNBT No. 8 Banyak Orang Suka Diampuni
Pemberitaan Anugerah Allah: NKB No. 10 Dalam Lautan Yang Kelam.
Ajakan Untuk Mengikuti Yesus di Jalan Sengsara: KJ No. 372 Inginkah Kau Ikut Tuhan
Persembahan: KJ No 361 Di Salib-Mu ‘Ku Sujud
Nyanyian Penutup: KJ No.400 Kudaki Jalan Mulia
ATRIBUT:
Warna dasar ungu dengan simbol XP (Khi-Rho), cawan pengucapan, salib dan mahkota duri.