Kitab Amsal (Ibrani: Masyal; Yunani: Paroimia; Inggris: Proverb) merupakan kumpulan ucapan bijak yang berbicara tentang hikmat sebagai anugerah dari Tuhan Allah. Berdasarkan catatan penulisannya, kitab Amsal paling banyak memuat amsal-amsal Salomo bin Daud, raja Israel (Ams. 1.1;10-22.16; 25-29).
Selain itu, tercantum juga amsal-amsal orang bijak (Ams. 22.17-24.34), perkataan Agur bin Yake (Ams. 30) dan amsal untuk Lemuel dari ibunya (Ams. 31.1-9). Kitab ini memberi gambaran tentang pengajaran praktis dan petunjuk hidup untuk dilakukan dalam kebijaksanaan yang bermula dari menghormati dan menaati Tuhan Allah sumber hikmat (1:7, 2:6). Sumber moral dan tata etika perilaku sangat melimpah dalam kitab Amsal ini.
Tujuan kitab ini adalah untuk menerapkan prinsip-prinsip iman dalam sikap dan pengalaman hidup sehari-hari yang diungkapkan dalam bentuk petuah, peribahasa, perumpamaan dan pepatah. Adapun ruang lingkup pengajaran dalam kitab Amsal menyangkut berbagai bidang kehidupan baik itu tentang keluarga, pernikahan, perdagangan, pergaulan, peradilan, maupun komparasi kehidupan antara orang bijaksana dan bodoh, orang benar dan orang fasik, orang rajin dan orang malas serta yang lainnya.
Raja Salomo suka sekali memersonifikasi hikmat dengan seorang wanita yang mempunyai banyak pengalaman hidup, bijaksana dan berpengetahuan yang luas (band. Amsal 8). Dalam kaitannya dengan pembacaan Amsal 3.1-10, sang wanita ini berbicara sebagai seorang ibu yang memiliki otoritas yang kuat untuk membimbing anak-anak-nya dengan kasih dan kelembutan.
Ayat 1-2. “Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku, karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu.”
Cerita-cerita dongeng selalu berakhir dengan ‘hidup bahagia selama-lamanya’, tetapi sang ibu justru memberi petunjuk bahwa hidup bahagia selama-lamanya selalu dapat dimulai dengan menaati ajaran-ajaran, perintah-perintah Tuhan. Musa menegaskan: “Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka TUHAN, Allahmu, akan mengangkat engkau di atas segala bangsa di bumi. Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi bagianmu, jika engkau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu” (Ulangan 28:1-2). Ada kaitan yang kuat antara berkat dan umur panjang serta kesejahteraan (prosperity) dengan ketaatan kepada ajaran-ajaran (Torah) dan Mitzvot, perintah-perintah Tuhan. Kata shalom (sejahtera, ay. 2) setidaknya tidak hanya dimengerti sebagai ketiadaan perang atau kerusuhan atau sebuah kondisi pergolakkan, tetapi shalom adalah suatu keadaan yang baik-baik saja (welfare), makmur (prosper), sehat (health), kaya (wealth), damai (peace) dan penuh sukacita (joyfulness). Hikmat mengantar kita kepada jalan-jalan tersebut. Oleh karena itu ketaatan kepada perintah Tuhan adalah langkah awal (starting point) yang menggiring kita kepada hal-hal tersebut. Hal ini akan menjadi sangat kontras dengan Injil Kemakmuran yang sering menjanjikan bahwa Anda dapat memiliki apa saja yang Anda inginkan apabila Anda memiliki iman yang cukup.
Gereja seyogyanya tidak menjadikan berkat dan umur panjang sebagai pemikat keterlibatan jemaat dalam bergereja. Tetapi Gereja yang kuat dan sehat adalah Gereja yang terus-menerus mengajak jemaatnya untuk mengasihi Tuhan Allahnya dan tetap setia serta bertumbuh dalam pengajaran dan perintah Tuhan yang benar sehingga jemaat semakin memiliki firman Allah untuk menguasai keseluruhan hidupnya. Jemaat juga menjadi sepenuhnya sadar keperpanggilannya untuk saling melayani sebagai sesama orang percaya. Mazmur 112.1-2 menuliskan: “Haleluya! Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya. Anak cucunya akan perkasa di bumi; angkatan orang benar akan diberkati.” Dengan sendirinya berkat Tuhanlah yang akan mengikuti kehidupan orang percaya dan bukan karena kita menjadi percaya demi mengejar-ngejar berkat.
Ayat 3-4. “Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu, maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia.”
Kalimat-kalimat ini sangat lekat dalam ingatan orang-orang Ibrani. Musa memerintahkan mereka supaya mengasihi Tuhan dan memprioritaskan Allah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Itu menjadi semacam ‘pengakuan iman’ mereka setiap hari. Ulangan 6.4-9: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.”
Pengertian yang kuat akan kasih Allah dalam diri orang percaya akan memudahkan dia untuk dapat mengasihi sesamanya. 1 Yohanes 4.20-21: Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya. Hal inilah yang menjadi faedah bagi orang percaya yang mempraktekkan kasih Allah dalam kehidupannya dimana dia beroleh penghargaan; dihormati, dikasihi, dipercayai dan loyal, baik di hadapan Allah maupun sesamanya.
Ayat 5-6. “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”
Dalam ayat 5-6, anak laki-laki ini dinasihati untuk ‘percaya’ kepada Tuhan. Ketaatan membutuhkan kepercayaan. Mereka yang tidak mempercayai Tuhan tidak akan berjalan dalam ketaatan pada Firman-Nya. Mereka yang tidak mempercayai Tuhan memandang perintah Tuhan sebagai hal yang mencurigakan dan tidak dapat dipercaya dan mereka akan mengandalkan pemahaman mereka sendiri dari pada pemahaman Tuhan. Hanya mereka yang percaya kepada Tuhan yang mau dan mampu percaya bahwa Dialah yang Maha Mengetahui dan bahwa perintah-perintah-Nya adalah yang terbaik. Kepercayaan memampukan seseorang untuk terus berjalan sesuai petunjuk Tuhan.
Saya tidak dapat membayangkan bahwa akan Anda membiarkan anak Anda yang berumur 2 tahun menyeberangi jalanan Boulevard yang padat lalu lintasnya hanya untuk mengunjungi Mega Mall yang terletak di hadapannya, di seberang jalan. Sebagai orang tua yang bijaksana, Anda pasti yang akan memegang kendali. Anda memeluk dia dengan erat, tidak membiarkannya berontak dan mengikuti keinginan hatinya untuk berjalan sendiri lalu dengan penuh berserah membiarkan dirinya diseberangkan oleh Anda. Inilah kepercayaan.
Bahwa Allah mengetahui dengan persis jalan-jalan kehidupan kita, mengapa kita tidak membiarkan dan mempercayakan diri kita untuk dibentuk dan dituntun oleh-Nya? Sekali waktu kita pasti salah memilih jalan hidup ini, akan tetapi Allah dengan begitu setia menanti kita untuk berpaling kepada-Nya dan dengan tangan kasih-Nya yang selalu terbuka, bersedia memeluk dan menerima kita serta meluruskan jalan kita kembali (bandingkan Perumpamaan Anak yang Hilang, Lukas 15.11-32). Di sinilah dibutuhkan pengakuan akan keberadaan-Nya yang nyata itu.
Kunci untuk mengikuti Tuhan adalah dengan semakin dekat dengan-Nya. Pengetahuan tentang Tuhan saja tidak cukup, kita harus dekat dengan-Nya – yang berarti memberi waktu kita untuk bersama-Nya dan merenungkan Firman-Nya sebagai prioritas. Kita tidak akan mempercayai seseorang yang tidak memiliki hubungan pribadi dengan kita. Semakin banyak kita mengetahui tentang Dia, kemampuan-Nya, dan janji-janji-Nya, semakin kita dapat memercayai-Nya.
Ayat 3.7-8. “Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu.”
Ayat 7 memiliki bunyi/makna yang hampir seimbang dengan ayat 5b, “… jangan bersandar kepada pengertianmu sendiri.” Anak laki-laki ini diberitahu bahwa ketika dia menyadari bahwa dia tidak harus mengandalkan dirinya sendiri, sebab itu dia sangat membutuhkan hikmat/kebijaksanaan. Tradisi penulisan Alkitab memberitahu kita bahwa ketika ada penulisan kalimat yang sama persis atau yang bermakna sama diulang dua kali atau berkali-kali, maka kalimat-kalimat tersebut harus mendapatkan perhatian atau penekanan khusus. Dalam hal ini sang ibu mengerti bahaya terlalu mengandalkan diri sendiri. Yeremia di kemudian hari menegaskan, “Beginilah firman TUHAN: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!” (Yeremia 17.5). Mengapa hal ini menjadi cela yang memalukan bagi manusia? Jelas sekali, kesombongan menghalangi orang untuk memperoleh hikmat sejati. Mereka yang berpikir bahwa dirinya bijaksana akan selalu mengandalkan kebijaksanaannya sendiri dan akan menghindari nasihat orang lain. Orang bodoh terkenal karena terlalu menilai dirinya tinggi, terhadap kebijaksanaan dirinya sendiri sehingga menyebabkan mereka menolak nasihat orang lain (band. Ams. 12.15). Kenyataannya adalah kita seringkali mendapat banyak masalah karena pendapat kita yang terlalu berlebihan tanpa melibatkan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Yesaya 5.22: “Celakalah mereka yang memandang dirinya bijaksana, yang menganggap dirinya pintar.” Dan lebih parah lagi adalah takut akan Tuhan ternyata tidak ada dalam dirinya, sementara dia terus dituntun pada jalan kejahatan. Dia menyangka jalannya adalah lurus menurut pandangannya sendiri (Ams. 21.2) tetapi ujungnya ternyata menuju kepada maut (Ams. 14.12, 16.25). Musa pernah memberi peringatan akan kutuk yang menimpa orang-orang Ibrani bila mereka berlaku tidak setia kepada Tuhan, “TUHAN akan melekatkan penyakit sampar kepadamu, sampai dihabiskannya engkau dari tanah, ke mana engkau pergi untuk mendudukinya. TUHAN akan menghajar engkau dengan batuk kering, demam, demam kepialu, sakit radang, kekeringan, hama dan penyakit gandum; semuanya itu akan memburu engkau sampai engkau binasa (Ulangan 28.21-22).
Sebaliknya, orang yang menginginkan kebijaksanaan dalam hidupnya akan lebih memfokuskan dirinya kepada Tuhan. Hidup yang berserah kepada Tuhan, takut kepada-Nya, akan membuat keberadaannya lebih rileks, penuh optimisme dan vitalitas serta bugar bagi tubuhnya. Hal ini akan sangat menjauhkan dirinya dari hidup yang tertekan, pikiran-pikiran stres dan kecemasan atau ketakutan yang berlebihan. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang segar. Hal inilah yang barangkali sangat membantu bagi para penderita psikosomatik (sakit yang dirasa tubuh sebagai akibat dari keadaan jiwa yang sedang tertekan) untuk memperoleh kesembuhan bagi dirinya.
Ayat 3.9-10. “Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu, maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya.”
Menurut hukum Taurat, orang Israel wajib memberikan hasil pertama dari panen mereka sebagai persembahan kepada Tuhan Allah sebagai pengakuan bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah dan sumber berkat (Lihat Im. 23.10; Im 25.23; Bil. 18.12-13). Di dalam kewajiban tersebut terkandung janji berkat bagi setiap orang yang melakukannya sebagaimana disebutkan dalam ayat 10, “Maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya” (bnd. Ul. 28.1-2, 8-13 dan Mal. 3.10).
Dalam catatan sejarah Alkitab terdapat bapa-bapa leluhur Israel yang meneladankan kehidupan yang memuliakan Tuhan Allah dengan harta dan hasil terbaik bahkan yang sangat bernilai harganya. Seperti persembahan Habel yang mempersembah- kan anak sulung kambing dombanya (Kej. 4.4); persembahan Abraham dari anak perjanjiannya yaitu Ishak (Kej. 22.2); dan persembahan Raja Daud bagi pembangunan Bait Suci di Yerusalem dengan emas dan perak yang dipunyainya (1 Taw. 29.3). Semua bentuk persembahan itu adalah suatu kesadaran bahwa segala sesuatu yang dimiliki adalah milik Tuhan Allah sehingga dikembalikan kepada-Nya sebagai tanda terima kasih.
Ada satu hal yang menarik berdasarkan pembacaan kita minggu lalu dalam Roma 12.1-8. Ayat 8b menurut versi Alkitab Firman Allah Yang Hidup memberi pengertian, “… Jika Allah mengaruniakan uang kepada Saudara, bermurah hatilah dalam membantu orang lain dengan uang tersebut.” Rasul Paulus menyadari bahwa kepada kita yang memiliki banyak uang, itu juga adalah karunia Tuhan, bukan hasil usaha kita semata. Oleh karena itu kekayaan yang Tuhan anugerahkan kepada kita adalah juga bentuk keterpanggilan kita untuk melayani Tuhan dan sesama kita melalui harta tersebut. Lebih lanjut Raja Salomo menuliskan, “Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum. Siapa menahan gandum, ia dikutuki orang, tetapi berkat turun di atas kepala orang yang menjual gandum (Amsal 11.24-26).
Salah satu ciri pertumbuhan rohani orang percaya adalah kebersediaannya untuk memberi tanpa pamrih. Ia menyadari bahwa Allah telah memberkatinya dengan begitu rupa, sehingga baginya bukanlah masalah bila ia dapat memberi yang terbaik bagi Tuhan. Yesus pernah berpesan, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Matius 16.26). Adalah ironi bagi orang percaya bila ia berhasrat atau bahkan memiliki seluruh isi dunia ini tetapi ia tidak memaknai kepemilikannya agar bermanfaat bagi banyak orang. Ia kehilangan segalanya, termasuk Tuhannya, karena “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon (uang, Lukas 16.13).
Ajakan bagi kita orang percaya adalah muliakanlah Tuhan dengan hartamu. Semakin kita berkerelaan memberi untuk Tuhan, bukan karena seolah-olah Allah berkekurangan terhadap banyak materi, semakin bertambah besar nilai kemurahan hati dan kebajikan dalam diri kita, sebagaimana Allah adalah Allah yang bermurah hati. Ketika kita memberi, mungkin harta benda kita akan berkurang, tetapi hati kita tetap menjadi milik Tuhan. Ini sangat membantu untuk membebaskan kita dari kepemilikan terhadap uang dan harta, supaya hati kita tidak melekat kepada Mamon.